Berhati-hati dalam Berprinsip








Sejak SMA, saya cukup mengagungkan satu prinsip: Lakukan apa yang kamu senangi, dan Senangi apa yang kamu lakukan. Rasanya dahsyat memang. Jadi ada motivasi lebih bila malas datang, dan dorongan itu juga ada kala bosan datang. Kalimat ini juga acapkali saya sampaikan dalam beberapa kali kesempatan jika saat diamanahi utnuk memberi materi.

Namun ini bukan kata-kata Nabi, pun jelas bukan pesan Yang Maha Bijak. Sekedar kalimat mutiara dari orang bijak. Karena itu, ini baik. Susunan kalimatnya baik. Mudah dicerna. Punya tujuan baik. Namun punya potensi kekeliruan.

Inilah masalahnya. Tak apa-apa memang bila kita memetik pelajaran dari orang lain. Harus malah. Namun apakah kita melakukan komparasi dengan pesan-pesan Allah dan wasiat nabi? Pada tahap inilah kita banyak lalai. Kekeliruan ini berujung pada makin biasnya kebenaran yang esensial dengan kebenaran semu. Makin kebenaran semu itu berjejalan di otak kita, potensi kekeliruan itu juga ikut menumpuk. Sampai suatu kali momennya cukup tepat untuk setan menyesatkan, terperosoklah kita. Jadi idealis dengan dasar pemikiran lemah dari kalimat berkebenaran semu tadi.
--

Lalu apa yang keliru dengan kalimat di awal paragraf tadi?
Sederhana ternyata:                                                                                                                           

1. Lakukan apa yang kamu senangi

Ini adalah momen dimana kita punya wewenang untuk memutuskan. Dan Tidak! Kita tak akan selalu bisa memutuskan apa yang membuat senang hati.
Berhari-hari kontemplasi di gua Hira, adalah preparasi untuk melakukan yang sungguh tidak disenangi (dakwah). Bukankah Rasulullah saw bisa saja menolak? Namun beliau memilih..
Meninggalkan Mekah tercinta dan tinggal dibawah lindungan Najasyi sungguh menyiksa perasaan. Bukankan para sahabat bisa memilih yang lain? Namun mereka telah menetapkan...
Menyetujui perjanjian hudaibiyah yang jelas tak adil sungguh buat makan hati. Menolaknya apakah tidak mungkin? Bisa saja, namun kaum muslimin kala itu telah meyakini..
Sunnah berwirausaha, sungguh bukan hal yang menyenangkan. Dari awal sampai akhir, wirausaha adalah tentang mengelola resiko, menegangkan. Bukankah nyaman hidup stabil dengan bekerja? Namun mereka lebih memilih...
Menetapkan muwashshafat untuk selalu diatas standar bukankah sungguh menekan? Namun para mujahid sejati lebih memilih..
Menimba ilmu dalam forum tak resmi dan tak mengikat hingga larut bukankah melelahkan?
Namun ada yang dicinta yang amat dirindu yang membuat mereka selalu bisa lebih memilih..


2. Senangi apa yang kamu lakukan

Ini adalah ketika kita harus menerima keputusan. Tak ada pilihan.
Bila salah satu makna dari derivat kata ‘Islam’ adalah ‘damai’, kenapa mesti ada tenaga, harta, dan perbendaharaan potensi lain yang mesti dimaksimalkan untuk peperangan? Muslim sungguh tak menyukai ini. Namun Allah lebih mengerti:

“Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Saya rasa ayat diatas sudah merangkum apa yang ingin dirinci di poin 2 ini.

Ini jelas perintah. Amanah. Keputusan jamaah. Menerima sungguh lebih baik apapun kesudahannya, bagaimanapun akibatnya. Sebab dimata Allah lebih berpahala meski dimata manusia sungguh tak bisa diterima. Sebab Allah mengetahui, sedang kita tak mengetahui.

Maka sahabat, hati-hati ya! Was-was (bisikan) setan itu tipis. Saking tipiiiiis, di setumpuk jerami kebenaran itu ada jarum beracun setan yang sabar menanti-nanti ditemukan.


                Al haqqu min Rabbika, falaa takuunanna minal mumtariin



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...