Inspirasi Bekatul


Tersenyum kecut ia melihat anjing kampung 50 meter di depannya rajin menyalak galak. Sehingga siapapun yang yang hendak melintas jalan ciut nyali seketika dan terpaksa memutar jalan. Rasanya ia ingin bisa seperti itu. Seperti sang Anjing. Beringas, tegas, berwibawa dan yang lebih utama adalah dapat memukul mundur nyali serta mengarahkan orang semaunya.

Telah hampir 9 bulan ia tinggal di perkampungan ini. Hijrah dari desa permainya di kota seberang ke kampung udik yang nyaris kehilangan sopan santunnya ini. Bayangkan! Ia memaksakan diri Azan 5 kali saban hari selama berbulan-bulan disini. Namun bisakah ditebak apa yang terjadi? Nah, betul sekali.

Tepat jawabanmu layaknya kaulah juga yang ikut membuatnya kecewa.

Nihil! Bila dibuat grafik linier kuantitas jama’ah shalat yang datang selama berbulan-bulan, barangkali kita hanya akan melihat garis nyaris lurus di y=1 yang sesekali di beberapa bagian tertekuk lengkung ke titik y=0 atau tersedak membuat beberapa punuk ke y=2 atau 3. Riskan sekali.

Sempat ia sakit yang membuat lemah. Dipaksanya azan dengan suara parau seperti induk pelikan menyeracau panik lupa menaruh telur. Namun tahukah kau siapa satu-satunya yang datang ke mesjid kala itu? Ia adalah kakek tuli pembuat bilik yang kebetulan singgah disitu habis membabat bambu di dalam hutan. Tragis sekali.

Lantas ia suka merenung lama belakangan ini. Apa sebetulnya yang salah? Memang secara genetis penduduk kampung ini lahir dengan daging tambahan yang menyumbat lubang kuping? Atau memang ketidakpedulian adalah anjuran tak tertulis yang jadi bagian dari sopan santun? Ia tak pernah punya prasangka atas kemungkinan orang-orang sebetulnya tak peduil, tak tahu dosa pahala, tak acuh, atau sifat dan alasan yang lebih mungkin itu. Sebab ia hanya yakin, tak mungkin ada orang yang tak mau peduli dengan ajakan kebajikan. Mulia sekali!

Karena itu, yang berputar di kepalanya hanyalah tentang cara. “Bagaimana? Bagaimana? Bagaimana?”, sesederhana itu yang menggerus syaraf otaknya saban pagi dan sore hari.

Lalu suatu ketika ia tengah mendinginkan penat otaknya menyusuri pedesaan, dilihatnya sekumpulan ibu mengais-ngais sisa penggilingan padi (bekatul) yang bertebaran dibawah mesin giling. Disapunya teliti, ditangkup rajin dengan kedua tangan, dan hati-hati dimasukkannya ke kresek hitam.  

”Untuk apa Ibu mengambil itu Bu?”
“ya buat makanlah Cep, kami terlalu miskin buat membeli beras dan terlalu lemah untuk jadi kuli penggarap sawah. Ya beginilah akhirnya.”
“Tapi kan itu makanan bebek Bu. Bagaimana kalau Ibu sakit?”
“Sakit? Ah nCep ini. nCep bukannya sering ke warung sebrang surau itu? Dan mungkin pernah jajan awug yang ada disana?”
“Oh, sering sekali saya jajan awug Bu, kesukaan saya itu.”
“Puluhan orang setiap hari makan awug itu Cep, dan sepanjang hikayat kami disini belum sampai ke Puskesmas ada keluhan sakit karena makan itu.”
“Jadi??! maksud Ibu, awug itu dibuat dari bekatul hasil memungut-mungut seperti ini??”
“ya Iya atuh Cep. Tapi yang penting kan itu bisa mengenyangkan kami orang miskin. Tak penting bentuknya Cep, itu sama dari padi juga asalnya. Yang penting kami dan anak cucu bisa kenyang, tak penting bentuknya.”

Tak penting bentuknya” kalimat itu lantas menghantui semalaman. Dengan ajaib meredakan amarah akibat azan tak bersambut. Sekaligus bagai sang Anjing, menyalak menertawakan kebodohannya sendiri.

Betul juga”, katanya mulai bermonolog. Bukankah azan itu adalah perlambang? Tauhid, aqidah, muamalah, ibadah, pahala, peringatan dan anjuran semua ada dalam runutan kalimat azan. Dan semua itu sebetulnya perlambang. Bila penduduk ini amat familiar dengan awug bekatul akibat sulit memperoleh beras, barangkali seperti inilah masalah mereka dengan azanku.

Azan bagi orang-orang ini hanya kalimat-kalimat arab yang intinya menandakan masuknya waktu shhalat. Tak kan sampai pada mereka hikmah agung mengenai Tauhid, aqidah, muamalah, ibadah, pahala, peringatan dan anjuran yang luar biasa didalam azan. Mereka perlu mencerna azan dengan cara lain, dalam bentuk lain. Oh ya Allah bodohnya aku.

Baiklah, hipotesisku, intinya aku mesti membuka kran komunikasi yang lebar dengan mereka. Berbicara tentang banyak hal dimana aku bisa menyelipkan beragam penjabaran mengenai Tauhid, aqidah, muamalah, ibadah, pahala, peringatan dan anjuran Tuhan dengan kalimat sederhana. Yang penting dari komunikasi ini adalah mereka mulai punya kesadaran membutuhkan Tuhan, dan mulai beribadah. Tak masalah sementara itu mereka hendak ke mesjid atau tidak. Nanti, nanti bilakah saatnya tiba, mereka akan mengerti dengan sendirinya dan datang ke mesjid bahkan bilapun azan sampai lupa tak dikumandangkan.
--

Ia pun dengan bersemangat membuktikan hipotesis itu. 4 tahun. Bukan main. 4 tahun sampai setidaknya setengah dari 10 baris shaf sajadah disana terisi rutin oleh orang-orang yang dibuatnya mengerti.

Dan entah akan makan berapa lama lagi sampai benar-benar dapat terisi penuh, terutama oleh para pemuda pengadu Anjing yang rela bertaruh menukar pacarnya bila sang Anjing jagoan tumbang karam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...