Hujan sore itu kami bertemu pertama kalinya.
Saling mengimajinasikan dialog yang masing-masing inginkan.
Setiap aku melihatnya, ia balas melihat namun tak lama.
Seperti biasa, ia malah akan mengalihkan edaran matanya ke arah lain.
Setiap kali ia curi-curi lihat ke arahku,
aku malah tak sanggup memandangnya kembali. Alih-alih cari pengalih perhatian, aku biasanya malah tergeragap tak karuan.
Kata orang, kami saling mencintai.
Namun bagi kami, Cinta itu hanya sebentuk absurditas dari perjalanan kami mendefinisikan diri.
Masih tak jelas.
Dan kami memberanikan diri untuk tak menjatuhkan rasa masing-masing pada cinta yang masih belum kami mengerti.
Karena waktu dan ruang adalah dimensi, maka ia berjalan dengan arah tertentu atas kehendak Tuhan.
Kami tak menampik.
Meski dipendam, ternyata cinta mendefinisikan dirinya sendiri tanpa mesti kami cari.
Ia meragi.
Berkembang sendirinya dalam hati,
dipandu Fenomena dan pengalaman hidup.
Aku menemukan cinta pada orang-orang itu.
orang jalanan.
dari mereka, cinta itu menyerupa aurora
bergemintang di seluruh muka hati.
Sebab itu demi cinta,
aku hidup dengan kadar keadaan mereka.
Membiarkan ulangan tahun tanpa perayaan,
menanggalkan kemeriahan.
Dan ia, menemukan cintanya
pada sesuatu yang aku tak berani menerka.
Atas komitmen pada cintaku,
cintanya kubiarkan tumbuh tanpa kuselingi rayuan dan kedipan.
Perlahan kami pun meretas cinta kian dalam.
Cinta kami kini,
adalah layar terkembang yang rela terbawa angin takdir
kemanapun Tuhan inginkan.
Kadangkala di sejalur Samudera
pelayaran kami Tuhan persinggungkan.
Lantas kami menerka
Bagaimana pilihan akan memberi narasi pada perjalanan.
Bila di persinggungan kami dusta,
alamat karam mematahkan jalan juang.
Kukuh menetapi makna Cinta,
kami yakin Tuhan kan bahagiakan perjalanan.
Dulu cinta adalah berbatang kayu hutan
Bijak mencerna cahaya pagi,
Anggun menaungi di siang hari.
Kini cinta membawanya ke lautan
Jadi kendaraan berlayar buat kami terus melesatkan perjalanan.
Saling mengimajinasikan dialog yang masing-masing inginkan.
Setiap aku melihatnya, ia balas melihat namun tak lama.
Seperti biasa, ia malah akan mengalihkan edaran matanya ke arah lain.
Setiap kali ia curi-curi lihat ke arahku,
aku malah tak sanggup memandangnya kembali. Alih-alih cari pengalih perhatian, aku biasanya malah tergeragap tak karuan.
Kata orang, kami saling mencintai.
Namun bagi kami, Cinta itu hanya sebentuk absurditas dari perjalanan kami mendefinisikan diri.
Masih tak jelas.
Dan kami memberanikan diri untuk tak menjatuhkan rasa masing-masing pada cinta yang masih belum kami mengerti.
Karena waktu dan ruang adalah dimensi, maka ia berjalan dengan arah tertentu atas kehendak Tuhan.
Kami tak menampik.
Meski dipendam, ternyata cinta mendefinisikan dirinya sendiri tanpa mesti kami cari.
Ia meragi.
Berkembang sendirinya dalam hati,
dipandu Fenomena dan pengalaman hidup.
Aku menemukan cinta pada orang-orang itu.
orang jalanan.
dari mereka, cinta itu menyerupa aurora
bergemintang di seluruh muka hati.
Sebab itu demi cinta,
aku hidup dengan kadar keadaan mereka.
Membiarkan ulangan tahun tanpa perayaan,
menanggalkan kemeriahan.
Dan ia, menemukan cintanya
pada sesuatu yang aku tak berani menerka.
Atas komitmen pada cintaku,
cintanya kubiarkan tumbuh tanpa kuselingi rayuan dan kedipan.
Perlahan kami pun meretas cinta kian dalam.
Cinta kami kini,
adalah layar terkembang yang rela terbawa angin takdir
kemanapun Tuhan inginkan.
Kadangkala di sejalur Samudera
pelayaran kami Tuhan persinggungkan.
Lantas kami menerka
Bagaimana pilihan akan memberi narasi pada perjalanan.
Bila di persinggungan kami dusta,
alamat karam mematahkan jalan juang.
Kukuh menetapi makna Cinta,
kami yakin Tuhan kan bahagiakan perjalanan.
Dulu cinta adalah berbatang kayu hutan
Bijak mencerna cahaya pagi,
Anggun menaungi di siang hari.
Kini cinta membawanya ke lautan
Jadi kendaraan berlayar buat kami terus melesatkan perjalanan.
Pondok Madani, 9 September 2012 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar