Sebenarnya ia bukan tak kukenal. Namun di pagi yang sedikit berkabut
ini, tiba-tiba ia mengetuk pintu. Aku sapa, dan ia membalas dengan senyum
hangat. Ia kawan yang hampir kulupa, sebab belakangan aku memang terlalu banyak
berinteraksi dengan begitu banyak orang serta mencoba menyelesaikan beberapa
urusan.
Dan ia secara tak terduga tiba. Mendamaikan hati yang suasananya tengah
ricuh ini. Ia banyak memberi nasihat kesabaran, dan untuk senantiasa menjaga
iman. Sebab iman bila ia rapuh, maka retakannya akan mudah sekali disusupi
udara-udara kefasikan.
Ahh…kawan. Maaf aku hampir melupakanmu. Benar ternyata yang mengatakan
bahwa kawan itu sangat berharga. Mencari satu saja dari mereka, lebih sulit
dibanding mengundang seribu musuh.
Kau mengajariku keberhargaan seorang kawan. Kau sangat berarti.
----
Tak terasa, sudah sekitar dua bulanan sejak kami bertemu kembali. Diawali
dengan mengetuk pintu pagi-pagi malu-malu, Kini ia tak ragu untuk berkunjung ke
rumah kapanpun ia mau. Kami sudah menjadi sahabat. Dan diantara
sahabat-sahabatku, ia satu diantara yang cukup karib.
Kali ini sore di satu hari pertengahan maret. Dada kiri dan kepalaku
kompak sakit. Biasanya salah satu dari keduanya yang mampir rutin. Hampir
seharian dada sakit, padahal biasanya ia hanya singgah lima-sepuluh menit.
Kepalaku pun dirundung sakit hampir dua hari, padahal biasanya tak sampai
setengah hari. Aku tak kuasa bercerita pada siapa-siapa. Aku bangga melihat
teman-teman bermujahadah dengan masing-masing aktivitas mereka. Sama sekali tak
tega mencemar semangat dan senyum-senyum jihad mereka dengan kabar keluh
dariku.
Tapi menampung tamu tak diundang bernama sakit ini sungguh
menginginkanku untuk mengundang teman sekedar mendampingi. Tapi Alah
benar-benar selalu tahu apa yang hambaNya perlukan. Allah mengirimiku sang
Karib, si kawan yang nyaris terlupa itu.
Seperti pagi awal kami jumpa kembali, ia kembali menyapaku dengan
senyumnya yang menegarkan setiap jiwa yang melihat. Aku pun demikian, jadi
mampu lebih bersabar menahan sakit ini. Selintas kami bertemu, ia lalu mulai
menuturkan kata-katanya yang selalu penuh nilai itu. Kalimat-kalimatnya mudah
merasuk ke hati, mengundang keinsafan-keinsafan.
---
Sore di pertengahan maret ini, angin dengan berat mengarak awan-awan
kelabu. Sebenarnya matahari masih sabar menyampaikan sinarnya. Tapi awan nampak
keberatan untuk sedikit saja menyibak, sehingga angin hanya menyapu
lembut-lembut saja, tak kuasa menambah daya.
Aku pun berjalan, menyusuri jalanan jatinangor yang suram dengan banyak
kendaraan besar dan lalu lalang manusia. Belum lagi sakit ini, menambah keruh
pikiran-pikiran. Beruntung sang Karib masih mau menemani. Ia merangkulkan
tangannya ke pundakku, dan aku merasa tindaknya yang sesederhana itu begitu
menegarkan.
Lalu kami banyak berbincang sambil menyusuri Cisaladah, diantara
keriangan anak-anak kecil yang berlarian, antara kerumunan warga dan
mahasiwa-mahasiswa yang entah membicarakan apa.
---
Sesampai di rumah, sang Karib pamit. Ia lalu melempar ucapan panjang:
“Akhi, sesungguhnya kau telah menetapkan citamu tertinggi untuk mati di
jalanNya, aku tahu itu. Waktu SMA, entah kau masih ingat atau tidak, kau telah
menanamkan cita itu. Namun peperangan seperti kala Rasul entah kapan kan
terulang. Maka citamu itu pelihara saja, sampai saat itu tiba, saat kau
berpeluang menumpahkan darahmu, dan terputus leher dalam tebasan musuh Allah.
Maka kala itu aku akan dengan begitu bangga menorehkan Syahid pada nisanmu, dan
akan kupanjat do’a pada Sang Kuasa untuk memelihara keluargamu.”
“terima kasih, terima kasih banyak..”, ujarku seadanya dengan sedikit
haru. Lalu ia menyambung:
“Jihad para mu’min kini mungkin masih terpaut jarak jauh dari sebuah
qital. Tapi Jihadmu itu azzamkanlah untuk kejayaan Islam. Bina para pemuda, siapkan
segala bekal bagi kebangkitan yang tengah engkau dan kawan-kawanmu usung. Oh
ya, kalau kau mau ke Jepang, bersemangatlah. Belajar yang benar, dan pulanglah
dengan gemilang. Dan untuk wanita itu,..”
Lalu ia berhenti sesaat, dan aku langsung menimpali:
“sudahlah, aku tengah berusaha melupakannya. Kalau kau menyebut
namanya, itu malah mempersulitku saja kawan,..”
Kontan kami sedikit terkekeh, lalu segera ia kembali menjawab:
“..oh, baiklah. Bagus.”
Ia lalu mulai menjauhi daun pintu.
Setelah agak jauh, dengan setengah berteriak ia mengucap kalimat terakhirnya
sore itu:
“Oh ya akhi…!!, sampaikan pada kawanmu yang lain dan pada siapapun
dalam kesempatan yang memungkinkan.. Sampaikan bahwa aku akan mengunjungi
mereka satu persatu, bersilaturahim. Aku juga ingin menyemangati mereka!!!”
“Baiklah, insyaAllah.” Jawabku.
---
Keesokan hari.
Dhuha pagi ini begitu syahdu. Lembut setiap permohonan terujar. Air
mata mudah sekali terurai, mengingat-ingat apa yang tersampai dari sang Karib.
Malam harinya. Aku berjama’ah isya di satu mesjid seputaran Ciseke.
Kala itu mati lampu. Dan kondisi ini jadi menambah khusyu’. Seperti dhuha tadi,
air mata rasanya begitu mudah mengalir: sepanjang rakaat hingga akhir do’a.
Dalam keadaan seperti ini, aku jadi sangat merindukan sang Karib. Ingin
ia hadir saat ini juga.
Ingin kubagi sukaku didekapnya dalam deraan taubat yang datangnya
langka seperti ini.
---
Begitulah kawan-kawan, sepintas cerita tentang Karibku. Ia kawan yang
bisa diandalkan. Ia mencerdaskan.
Oia, mau kenalan?
Umurnya sama denganku. Perawakannya Gagah. Tegas. Lembut.
Matanya tegas, gerak-gerikya bernas.
Ia punya banyak pengalaman.
Pantas saja Rasulullah mengatakan jika kita bersahabat dengannya, maka
kita bisa disebut sebagai orang cerdas.
Tau siapa kan?
Ya,
nama arabnya adalah maut.
Nama indonesianya adalah K E M A
T I A N.
Itulah karibku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar