Suatu saat dalam kelas yang riuh dengan petinggi-petinggi daerah disamping anak-anak SD, seorang Pejabat Tinggi Wilayah (gubernur) bertanya pada siswa siswi itu:
"Siapa yang mau jadi pedagang?"
kelas sunyi, nyaris tak ada yang mengacungkan jari. Lalu Gubernur bertanya lagi,
"Siapa yang mau jadi pengusaha?", beberapa anak mulai spontan semangat unjuk jari.
Terakhir, beliau bertanya kembali,
"Siapa yang mau jadi Businessman??", sontak nyaris seluruh anak dalam kelas mengacungkan jari.
Tentu tak berlaku peristiwa serupa bila pertanyaan yang sama ditimpakan pada kita. Anak-anak itu tentunya tak mengerti. Apa yang salah dengan ketidakmengertian itu? banyak faktor tentunya, bisa karena memang ada keterlambatan pembelajaran baik dari sistem sekolah maupun keluarga. Bisa jadi karena memang kemalasan, atau rasa sepele lingkungan menanggapi hal-hal 'seremeh' ini.
Namun yang paling kentara terasa adalah, bukankah ini akibat serbuan Globalisasi?
Fitrahnya, otak kita dilimpahi kapasitas besar untuk mengerti ragam bahasa. Bagaimana beradaptasi dengan bahasa itulah yang menentukan kefasihan kita dalam menguasainya. Kebanyakan kita saat ini, 'beradaptasi' dengan bahasa lain lewat pembelajaran formal di lembaga Pendidikan. Masih untung bila metode yang digunakan inovatif dan memancing minat serta mudah. Akan sulit bila metodenya konvensional dan menjemukan.
Globalisasi kawan-kawan, telah membawa kabut suram yang menyamarkan jati diri kita. Dulu, senang rasanya mengimpikan liburan ke kampung atau dusun. Namun sekarang? jangan harap ada keelokan kepolosan disana, sebab Dusun sekarang hanyalah 'kota yang semrawut dan cenderung norak'.
Begitu halnya dengan bahasa Ibu. Tatar sunda yang kaya kultur ini memiliki 3 bahasa utama:
- Melayu Betawi (Depok dan Bekasi),
- Jawa Cirebonan (Cirebon),
- Sunda Priangan (selain 3 daerah diatas).
Sekarang semua campur baur tanpa menunjukkan identitasnya. Pelosok kampung ujung sukabumi, sampai puseur Bandung akan dengan mudah kita menyimak logat betawi nanggung. Padahal, otentisitas bahasa punya nilai tersendiri yang sayang bila mesti luntur karena sergapan pencampurbauran yang tidak pada tempatnya.
Jaga nilai kultur itu kawan. Sebab otentisitas alias keaslian memiliki nilai global yang hebat. Sebagai contoh, bahasa Ibu saya (sunda), cukup jadi sorotan di dunia karena menempati posisi 37 sedunia sebagai bahasa yang paling banyak digunakan dengan jumlah penutur sekitar 27 juta jiwa. Keren kan?
Maka, tak perlu belebihan mengkonsumsi es campur bila tak pada tempatnya. Sebab amat besar tendensinya berbuah sakit di Pencernaan kita.
Bahasa Ibu kawan, punya nilai kasih sayang. Jangan biarkan kasih sayang itu meruap karena kengganan berbahasa Ibu. Bila ada anak priangan yang menangis sesegukan, ibunya akan menentramkan: "Jep.. jep.. jep..". Adakah bila kata sederhana tersebut meski ada padanannya akan terasa sama? Belum tentu. Sebab itu, peliharalah bahasa Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar