Cuaca daerah Selatan memang
selalu terasa lebih terik. Mereka semua lelah, lapar. Beruntung di tempat yang
berkah ini, Pesantren Perguruan KH Zaenal Musthafa, mereka bisa melepas lelah.
Senang hati bertambah lagi karena Jambu Jamaica yang rasanya aduhai. Makan
lahaplah mereka, apalagi sup Gurame buatan Ibu-ibu disini memang top.
Lalu tanpa ketahuan, orang itu
sudah keluar dari pintu. Mereka yang melihatnya sontak berhenti makan dan
tergopoh berdiri. Namun dengan tenang orang itu bilang, “Sudah, selesaikan makannya,
tenang aja.” Fiuhhh.. begitu barangkali kelegaan dalam diri mereka.
Siapa sebetulnya mereka ini?
Mereka adalah kru, pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Ada
pengawal pribadi, tim Humas, protokoler, polisi pengawal serta ajudan tentunya.
Lalu orang itu? Ya, dia adalah pemimpin mereka. Pemimpin yang tak terlalu kaku,
tidak menganggap mereka budak pekerja yang mesti manut-manut. Dia adalah Ahmad
Heryawan, sang Gubernur.
--
Pesantren yang terletak di
kawasan Sukamanah, Tasikmalaya itu adalah titik kedua yang dikunjungi pada hari
itu (22/3/2012). Sebelumnya rombongan ini berada di Pondok Pesantren Cipasung,
memenuhi undangan Pelantikan pengurus PC NU Kabupaten Tasikmalaya 2012-2016.
Ada yang unik di acara Pelantikan
tersebut. Saat membuka Tausyiahnya, ketua PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj
mengatakan sesuatu yang membuat ribuan warga nahdhiyyin bertepuk sorai dan
tertawa. Seperti biasa ada salam penghormatan sebelum memulai pembicaraan. Kala
itu Bang Aqil mengatakan, “Yang Terhormat, Bapak Dr. KH. Ahmad Heryawan,
Lc Gubernur Jawa Barat 2008-2018..”.
--
Kejadian unik lainnya ada pada
titik ketiga yang dikunjungi hari itu. Sebagai kader sebuah Partai Dakwah,
beliau ingin bersilaturahim dengan mereka, pengurus DPD Kabupaten Tasikmalaya.
Tak disangka, para kader itu telah menunggu sang Gubernur sejak jam 9 pagi.
Padahal beliau datang ke tempat pertemuan baru pada sekitar pukul 14.00.
Acara pun dimulai. Gubernur
dengan wajah rileks menuturkan apa yang perlu diketahui oleh para kader.
Setelah itu seperti biasanya, ada sesi dialog. Pada sesi ini, ada seorang kader
yang mengungkapkan pernyataan agak kurang mengenakkan. Katanya,
“Ustadz, sejak antum jadi
Gubernur kami serasa telah kehilangan Ustadz. Bahkan baru hari ini saja
semenjak jadi Gubernur antum bisa menemui kami..” dan berlanjut dengan keluhan
senada.
Beliaupun
menanggapi. Dengan rileks Gubernur menjawab:
“Akhi, jangankan antum.
Anak-anak saya saja kehilangan Ibu Bapaknya di rumah. Ini bukan masa dimana
jumlah kita hanya 30 orang dan bisa bertemu terus setiap minggu. Ini masa
ekspansi. Dari sekitar 200.000 sahabat Rasulullah saw, hanya sekitar 25.000
yang wafat di Mekah dan atau Madinah. Sisanya, wafat di tempat-tempat asing,
tempat mereka berdakwah”
“Ada kejadian menarik yang senada
dengan ini. Suatu kali, di masa sepeninggalnya Rasulullah saw telah tiada. Para
sahabat merasa rindu untuk bertemu. Dengan berkomunikasi dari jauh, mereka
sepakat untuk reunion dengan umrah bersama.”
“Setibanya hari-H, mereka lalu
umrah bersama. Setelah itu, mereka bersepakat untuk menuju Madinah bersama
dengan berjalan kaki. Setibanya di Madinah pada malam ke-7, mereka lalu
menunaikan Isya. Pada sepertiga malam, mereka Tahajud. Kala menjelang shubuh,
seorang sahabat meminta Bilal untuk adzan. Bilal pun dengan suara merdunya
menggemakan adzan. Demi mendengar itu, para sahabat menangis. Terkenang di
benak mereka kebersamaan saat Rasulullah masih hidup. Masa terindah yang
membuat pilu hati kala melihat kenyataan Rasulullah telah tiada.”
“Selesai Adzan, Bilal dan para
sahabat lain berjamaah subuh. Setelah itu, Bilal langsung mengucapkan sesuatu:
‘Sahabat sekalian, saya mohon pamit’. ‘Kenapa wahai bilal? Bukankah kita baru
berkumpul di Madinah hanya semalam saja? Kami masih rindu untuk berkumpul’.
‘Maaf wahai sahabat sekalian, tetapi saya kini adalah seorang Gubernur Syam,
dan rakyat saya telah menunggu, Assalammu’alaikum’”
Gubernur menyudahi jawabannya.
Para kader diam, terhenyak.
Allahua’lam bish shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar