Saya, DSLR, Bocah dan Mesjid |
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan
(yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.
dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Terobosan-terobosan pengetahuan dan tatanan kemanusiaan yang
dilandasi penerimaan hati terhadap ayat-ayat suci memang tak akan pernah
berhenti. Sebab itu, beruntunglah bila pencari inspirasi senantiasa dekat
dengan pendalaman dan perenungan. Sebab inspirasi Qur’ani adalah Taufiq sejati,
inspirasi diatas inspirasi.
Kali ini mari kita beri pemaknaan yang lebih pada ayat diatas:
Ali Imran 92.
---
Sahabat, pernah dengar komedi radio Cangehgar yang satu
ini:
Suatu kali di sebuah kapal yang tengah berlayar terjadi
keributan. Rupa-rupanya seorang penumpang terjatuh ke laut dan nyaris tak bisa
bertahan lagi. Penumpang ribut. Teriakan terdengar sana-sini. Lalu tiba-tiba
semua keributan itu kontan terhenti. Diganti kekagetan karena seorang Kakek
dengan heroik melompat menjemput si yang nyaris tenggelam tadi. Singkat cerita,
akhirnya ABK datang dan berhasil menarik dulu si penumpang yang ternyata
pingsan. Terakhir, baru si kakek yang diselamatkan.
Semua sumringah dan bertepuk tangan menyambut kakek heroik itu.
namun semua kegirangan itu lantas berhenti. Diganti dengan kekagetan atas
reaksi si Kakek. Mukanya memerah dan sorot matanya penuh benci.
“WOOOIIIIIII!!!!” semua terhentak atas teriakan si Kakek.
“SIAPA YANG DORONG SAYA TADIII? BRENGSEEEEK!!!!!”
ahHaha (saya harap yang baca juga tertawa ><).
Namun poin hikmah yang ingin saya sampaikan bukan ada di si Kakek Sahabat. Coba posisikan
diri kita sebagai si penumpang jatuh. Barangkali Kita akan merasa begitu kecewa,
sebab saat do’a dan takdir tarik-menarik nyawa di jasad kita, orang-orang malah
saling teriak heboh. Tak ada yang mengulurkan tali, pelampung, tangga darurat,
atau apapun yang penting bisa selamat. Namun tiba-tiba ada yang rela sekujur
dirinya terjun ke laut. Dan tebak untuk apa? Ya! Demi kita! Demi kita semata ia
rela (berlebihan -_-!!). interpretasinya akan lain disini. Kita jadi
merasa berharga, sebab ada yang rela ‘tukar nyawa’ untuk kita. Dan apresiasi
kita tentunya akan sangat tinggi pada yang bersangkutan.
---
Satu kali ada seorang sahabat yang ‘curhat’. Katanya ia tak
merasakan lagi sesuatu yang dulunya membuat ia merasa lebih bermanfaat. Merasa
lebih hidup sebagai orang hidup. Dan saya tak perlu banyak mengorek ia dengan
nada menyelidik. Jawabnya mudah saja. Sebab ia kini tak melakukan amalan yang
membuat ia bisa ‘memaksa’ dirinya memberi seoptimal mungkin seluruh potensi
dirinya. Kini ia bekerja dengan soft skill semata. Hatinya tak berkontribusi.
Keimanan tak dapat posisi: Faith bargaining crisis (istilah saya:P).
Amalan terbaik yang melibatkan hati, sigenap potensi ruhiyah,
fikriah, jasadiah, dan orientasinya adalah kepentingan orang banyak, adalah bentuk kebaikan yang terbaik. Itulah yang menurut saya hilang dari sahabat
tersebut.
Barangkali diantara sahabat ada yang merasa demikian? Hampa atas
aktivitas kita, apapun itu. gampaaaaang, koreksi saja:
-karena apa sahabat melakukannya?
-untuk siapa/apa sahabat mengerjakannya?
-apa yang telah sahabat beri demi memaksimalkan hasil aktivitas
tersebut?
---
Siapa yang tak mengejar kesempurnaan? Semua berlomba menujunya.
Sebab itu, selalu ada kompetisi kebaikan. Namun kesempurnaan punya prasyaratnya
sendiri kawan. Ia ingin setidaknya dua hal saja: niat yang benar dan sebernilai
apa yang kita beri demi kesempurnaan itu (gaya Mario Teguh :P).
Maka Tak ada ceritanya juga masuk surga tanpa hisab itu untuk
yang mati perang, tapi jelas hanya bagi yang SYAHID dalam perang.
Tak ada ceritanya juga muslimin langsung gembira ria di madinah,
tapi mesti menjajaki perih belasan tahun di Mekkah.
Kita juga disuruh meminta surga tertinggi bukan? Bukan sura
pinggiran. Apalagi yang mepet-mepet neraka :P.
Tak ada ceritanya juga surga dibawah telapak kaki wanita, tapi
IBU.
Dan tak ada istilah penghafal surat, tapi penghafal Qur’an. Yang
berarti memang menyisipkan ribuan ayat itu di 95% memori otak yang
‘nganggur’adalah salah satu bentuk kesempurnaan interaksi dengan Qur’an.
Dan tentunya banyak isyarat kesempurnaan lain yang bertebaran
dalam Qur’an juga perilaku Rasulullah saw.
---
Maka, ayo sahabat. Kita kejar-mengejar menuju poin-poin
kebajikan. Lalu kita sempurnakan. Dengan demikian, batas kesempurnaan itu tidak
akan pernah ada. Atau lebih tepatnya,
batas kesempurnaan itu akan selalu meninggi seiring makin banyak, makin
bernilai, makin kita CINTAI apa yang kita beri
Ma’annajah Sahabat!!!! ^0^!!!
---
Maaf bila tulisan saya terlallu berputar dan barangkali ada yang
berpendapat ada beberapa kontennya yang bisa dihilangkan. Namun ini saya
sengaja, sebab saya yakin banyak kebosanan atas analogi, metafora,
personifikasi yang begitu-begitu juga, atau deskripsi denga kata berhias
sana-sini. Jenuuuh. Betul? (anggaplah setuju ya, heheh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar