metaforbunglon




“Akh, antum ngapain nyender-nyender gitu? Sini-sini, jangan nyender di dinding, ga da tempat bersandar kecuali sama Allah akh”

Sebuah kalimat yang sebenarnya hanya candaan seorang kawan saat kami mengikuti tatsqif. Mungkin karena lelah, pegal, seorang kawan merebahkan punggungnya pada tembok, sambil sesekali menarik helaan panjang dan mengedip-ngedip mata. Lalu, seorang kawan lain yang menyaksikan itupun melontarkan kalimat diatas.


Itu mungkin memang hanya candaan. Tapi bagi saya, itu hujaman luar biasa bagi akidah dan idealisme saya. Semenjak SMA, saya berpikiran bahwa tidak akan pernah diri ini tergantung pada siapapun. Sayang berlebihan pada siapapun. Cinta berlebihan pada siapapun. Berteman benar-benar akrab dengan siapapun, atau mengidolakan siapapun. Pada waktu itu, karena beberapa kejadian dan pengalaman yang (untuk remaja seumuran saya dulu) dirasa banyak tidak menyenangkan, saya berpikir bahwa di dunia ini saya sendiri, sisanya semu. Tak kan ada yang benar-benar terpaut maupun berpaut hati. Maka, all is about defensing my self, with struggling by my self. Tentu berpikiran tersebut bukan dengan apatisme sosial, tapi menjadikan kadar ketergantungan itu cukup rendah di setiap ingin dan harap. Saya tidak ingin condong kepada siapapun!

Maka saya berkembang dengan egoisme yang dominan, cenderung temperamen, banyak mengutuki keadaan: idealis.

Tapi Allah Yang Maha Kasih tahu bahwa saya salah, maka Ia menghaluskan kekasaran prinsip saya itu dengan gerinda ujian yang diputar lembut, selembut desiran kalimatNya yang bertelisikan dengan daun-daun alam musim ini yang tak jelas kemarau atau hujan.

Allah hadirkan orang tua, yang dengan mereka saya mengerti bagaimana menjadi bijak dan kuat.

Allah hadirkan Murabbi, yang dengannya saya belajar bagaimana menjadi bijak dan giat.

Allah hadirkan adik, yang dengannya saya belajar bagaimana menjadi bijak dan belajar menyentuh.

Allah hadirkan ikhwan, yang dengan mereka saya belajar bagaimana menjadi bijak dan lemah.

Allah hadirkan akhwat-akhwat, yang dari mereka saya belajar bagaimana menjadi bijak, dan kuat.

Allah hadirkan beberapa binaan, yang membuat saya bersikap dengan mengutamakan bijak.

Dan kadangpula Allah hadirkan beberapa objek tertentu yang membuat saya harus mau 
menerima mereka di dalam pikiran, dalam hati, atau kadang dalam hati saja, karena arah datang mereka ke kehidupan saya yang spesial, karena cara atas bagaimana mereka duduk di ruang jiwa saya lain cara dari biasa.

Demikianlah Allah jadikan saya begitu jadi terpengaruh oleh mereka. Maka, diri saya saat ini bukanlah seseorang yang melulu bergelut dengan subjektivism. Pemikiran saya kali ini adalah akumulasi dari sesarian kehidupan yang Allah cucurkan penuh kasih lewat corong Hidayah dan Tarbiyah. Jadilah terkadang saya begitu mencintai orang-orang itu. Mereka ternyata adalah ruh-ruh sealam yang dahulu, di momen yang sama, pernah sama-sama mengikat janji dengan Rabb semesta.  Dan kini mereka semua telah terlahir dengan bentukan yang berbeda dari Tuhannya. Mereka tumbuh berbeda, berkembang berlainan, berpijak di tanah yang beragam, dengan pemikiran yang juga beraneka. Tapi dari mereka, saya belajar bagaimana menyelaraskan langkah dalam misi yang bernama Dakwah.

Karena sayang pada mereka, kadang saya jadi sering khawatir sendiri, kadang berlebihan. 

Kadang melakukan hal-hal yang setelah melakukannya saya jadi heran sendiri: Untuk apa melakukan hal itu, apa gunanya, apa untungnya, Kenapa mau?, dll…

Tapi bukankah Rasulullah yang mulia pernah hanya tersenyum saja melihat pertengkaran sengit yang serius antara Hafshah dan Aisyah?

Bukankah Abu Bakar yang welas Asih pernah jadi sangat garang saat banyak mu’min yang ingkar membayar zakat?

Bukankah Umar pernah disangka gila karena berteriak-teriak memberi arahan perang, saat beliau radhiyallaahu’anh tengah berkhutbah, di mesjid?

Bukankah Ustman sanggup menjadikan Umar dan Abu Bakar tergugup menanggapi kehadirannya?

Bukankah Ali hanya diam saja saat Umar hendak disandingkan dengan Fatimah?

Bukankah Umar bin Abdul ‘Aziz hanya disangkai sebagai kuli saat utusan mesir melakukan kunjungan diplomatik ke kediamannya?

Bukankah seorang pemuda kemayu pada akhirnya sanggup bermetamorfosa jadi Panglima, Saladiin yang melegenda?

Mereka semua, seperti bukan diri mereka pada awalnya. Seperti bukan diri mereka yang 
biasanya. Sebab apa? Tentu karena keterpautan mereka dengan hal-hal yang menyebabkan mereka mampu berlaku diluar kewajaran. Sayang mereka, kasih mereka, cinta mereka pada orang-orang yang telah membuat diri mereka lebih dekat dengan esensi kehidupan, lebih mampu menjawab rahasia-rahasia alam, lebih akrab dengan Tuhan. Mereka tak mau kehilangan orang-orang piihan Tuhan yang mengubah hidup mereka.

Karenanya, saya kali ini hanya meRasa, bahwa ini hanyalah keterpautan yang tak berbeda. 

Saya, karena Alah menghadirkan Ikhwah dan memperkenalkan dakwah, jadi belajar dengan sendirinya untuk ‘Berbuat’, tanpa mesti kehilangan bagaimana saya dulu terbentuk.

Saya tetap tak banyak bicara (setidaknya pandangan teman-teman begitu), tapi mampu bicara banyak (ner gak?). saya tetap terkesan dingin (setidaknya begitu teman-teman bilang), tapi ternyata bisa memanasi semangat yang mendingin (iya ya? Kata beberapa temen sh gt). Saya tetap menyebalkan (statement banyak orang), tapi ternyata ada yang menempatkan saya sebagai orang yang sangat menyenangkan hidupnya (Kata teman yang saya sayangi dia karena Allah).

Intinya, saya tetap saya dari awal hingga akhirnya. Saya jadi begini, karena (seperti kalimat awal), Sandaran saya berubah: sebuah Sibghah, telah menerangredupkan idealisme



[Jatinangor, 4 Jumadil Akhir 1431]

[inillah KOMA, jangan risih membacanya. Tulisan ini jadi KOMA, karena saya yang punya cerita. Jika bukan cerita tentang saya, tak kan saya beri judul KOMA :) ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...