disbrotherhorea


disbrotherhorea 



Sore itu, saat anak-anak seusia kita bingar dengan tawa riang. 

Mereka menaiki sepeda baru. Kita cuma punya satu. Karena sepeda itu pendek, roda tiga dan warnanya yang luntur jelas itu bukan sepeda untuk anak seusiamu, jelas sepeda itu miliku. Tapi karena tak pandai juga mengayuh, atau karena memang kondisi sepeda yang payah, kau juga yang mendorong sepedaku agar bisa melaju. Agar aku juga bisa merasakan tamparan angin dimukaku seperti anak-anak lain yang tawanya riang ketika sepeda-sepeda itu melaju. Ada bunyi kring-kring di sepeda mereka, warnanya juga menarik dan cantik-cantik.
Aku ingat. Bunyi larimu yang menggebu, mampu menjadikan sepeda itu sama kencangnya dengan sepeda baru. Aku pikir waktu itu, langkah kakimu sekuat tenaga ayah dan ibu. Belakangan aku tahu, langkah itu cuma langkah bocah lelaki 4 tahun lebih tua dariku.

Waktu itu, zaman-zamannya punya mobil-mobilan yang bisa ditumpangi, dan kita cuma punya satu. Warnanya biru, dan jelas bukan barang baru. Lalu kita berdua yang tumpangi. Kau yang menyetir, aku duduk disampingmu. Lalu kaki-kaki kecil kita mengayuh sekuat tenaga sambil tertawa ceria. Yang lain juga punya. Mereka tertawa-tawa sambil sesekali melirik milik kita yang jelas tak sebagus mereka. Tapi kita juga tertawa. Kita juga gembira. Tidak mengerti pada nada-nada tawa yang belakangan aku tahu ternyata tak setiap tawa terdefinisikan gembira. Kita cuma anak-anak biasa yang bahagia dengan cinta yang sederhana, dan itu cukup untuk menumbuhkan kita lebih lebih dewasa sebagai anak-anak.

Dulu, sekelompok anak menaruh "dendam" dengan teman-teman sepermainanku. Entah apa motifnya salah seorang diantara mereka melempar sebuah balok kayu yang cukup tebal dan berat. Karena emosinya ia mampu melayangkan balok itu, tepat ke arahku. Setidaknya balok kayu itu tepat melayang ke arah kepalakuAku terlalu sibuk dengan imaji balok  yang akan mengenai wajahku itu. Akhirnya cuma bisa diam sesaat dan... BUGH! Begitukah bunyinya? Saat balok kayu yang hampir terdampar diwajahku kau halau dengan punggung kecilmu
Aku terkesiap, hanya mampu melihatmu dan kemudian terduduk perlahan di depan kakiku, menatap bocah nakal itu nanar.
Lalu mama datang, menyapihmu dengan wajah mudanya yang cantik segar, tak marah pada anak-anak nakal itu. Tersenyum, meminta anak-anak yang lain pulang. Lalu didalam rumah ia membanjiri kita dengan cinta, pelukan, belaia, makanan-makanan enak (apapun yang dibuatnya selalu enak.

Sampai saat ini setiap melewati pesawahan yang hijau dan becek, aku selalu meluangkan waktu sesaat untuk menikmati pemandangan itu. Sesaat rasanya aku masih menangis setiap kali melihat sawah yang luas dan becek itu.

Mesjid Al-Ittihad, sore hari. Saat anak-anak sedang serius belajar mengaji.
Bocah gendut, pendek, dan nakal itu tak hentinya mengusiliku, menarik-narik bajuku, mengganguku saat menulis. Ahh dan entah apa lagi bentuk usilnya padaku. Lalu aku berlari menuju kelasmu, mengadu.  Bocah itu menggangguku! "Acuhkan!" katamu. Lalu aku kembali ke kelas. Dua kali berturut-turut aku mengadu, dan kau tetap dengan jawabanmu. Lalu entah aku lupa apa yang dilakukanya padaku untuk ketiga kalinya, ketika kemudian aku berlari ke kelasmu, bocah itu menguntitku ikut berlari sambil tertawa nakal. Wajahnya gembira sekali melihatku ketakutan. Aku  berlari lagi ke arahmu yang tenang duduk dilantai sambil menulis  catatan-catatan ilmu tajwid di papan. Aku bersembunyi dibalik punggungmu, dan kau seketika berdiri menatap tajam bocah gendut nakal itu, menarik kerah lehernya, lalu mencengkramnya kuat-kuat sampai kakinya jinjit mengikuti cengkeramanmu. Lalu pak ustadz datang melerai. Tapi sebelum kau lepaskan cengkeraman itu, sambil tangan kananmu masih mencengkram kerah lehernya kau ambil buku Iqra dari tangan si bocah, dan spontan melemparkanya jauh ketengah sawah berlumpur.
Pak ustadz datang. Memarahimu pasti. Menyalahkanmu iya. Lalu memintamu minta maaf pada bocah nakal itu sambil tegas menyuruhmu mengambil Iqra yang telah kau lempar entah di pelataran sawah yang mana.

Aku cuma bisa menangis. Menangis sesenggukan melihat kaki kecilmu mulai turun ke sawah penuh lumpur itu. Selangkah kulihat lumpur itu melebihi mata kakimu, aku menangis sejadi-jadinya. Sepertinya itu untuk pertama kalinya aku menangis begiitu khawatir padamu. Di pikiranku yang masih bocah, sawah itu akan menenggelamkanmu. Di pikiranku yang masih bocah itu  aku takut sekali jika perlahan lumpur itu menelanmu pelan-pelan. Bagaimana jika mendadak seekor ular mematuk kakimu?! Bagaimana jika kau tak kembali padaku?!

Aku cuma bisa menangis dan berdoa, sambil sesekali memalingkan wajahku di pundak teman perempuanku-entah siapa. Bagiku, melihatmu turun ketengah sawah berlumpur sambil mencari-cari iqra ditengah rumput-rumput padi, adalah pemandangan paling mengerikan semasa 5 tahun usiaku. Beruntung kau menemukanya, beruntung kau kembali ke masjid, tak peduli celanamu kotor dan berbau. Kau selamat dan itu sangat cukup.
Saat pulang sekolah madrasah, seperti biasa kita jalan berdua, dan kau selalu tak banyak bicara. Tapi waktu itu, aku menggenggam erat tanganmu. Memastikan perasaan "nyaris kehilanganmu" itu cukup kurasakan sekali saja.


Ahh..lalu mana lagi?! Serpihan kenangan mana lagi  yang membuatku merasa tak harus mencintaimu?

Masih disaat dulu. Saking takutnya pada kucing aku melempar potongan pipa air yang lumayan besar itu. Bodohnya aku hanya melemparnya berdasarkan perasaan saja, tanpa berpikir apakah aku mampu melemparnya atau tidak. Akhirnya jangankan melambung tinggi, pipa itu mendarat di pelipis kirimu yang duduk tak jauh di depanku. Darah menderas dari ujung kepalamu, dan aku cuma bisa menatapmu polos, sambil sesekali melihat matamu yang berair menahan tangis.

Lalu apa? Apalagi yang membuatku tak beralasan untuk takut kehilanganmu?!

Selalu saja kau.
Tempatku berlari dari serak dunia yang tak membuatku nyaman.
Selalu saja punggungmu tempatku berlindung dari riak kehidupan yang menakutkan.
Dan selalu saja tanganmu yang membuatku percaya pada janji-janji  kebahagiaan yang diabadikan.

Dan hari ini, adalah hari dimana aku bisa melihatmu berjalan semakin jauh. Tak meninggalkanku memang..
tapi kau berjalan menuju kehidupan yang belum kuketahui seperti apa rupanya.
Bahkan kau sendiri yang memintaku mengantarmu mengetuk pintunya.
Kau juga yang memintaku memilih pintu yang mana yang akan kau masuki.

Dan kau semakin dekat, pintu itu akan kau masuki: sebuah istana dengan semerbak wangi mawar didalamnya.

Dulu saat apa yang katanya disebut cinta itu membuncah di dadamu, kau habiskan waktu dan pikirmu dengan buku-buku sufi dan kehidupan para penyair sepi.
Katanya sepi itu suci dan lebih dekat dengan yang tinggi, maka kau tepis perasaan-perasaan itu. Maka jika ia tumbuh bertunas, kau takut ia meluap dan menghijab manisnya iman. Maka kau memilih diam sampai waktunya..
sampai waktunya..

Dan hari ini, adalah hari dimana aku bisa melihatmu memasuki pintu yang katanya jauh-jauh hari sebelum berniat melangkah sudah harus ancang-ancang mengucap hamdallah. Agar siapapun yang kau terima, tak sepersekian darinya yang kau lewatkan untuk kau syukuri, agar senantiasa menjadi mudah, agar tertuai manisnya barakah.

Berlabuhlah…
agar tak ada lagi mawar yang berdiri sendiri menebar wangi-wanginya.





And I love you as always

_Adek_





*ich liebe dich, meine schwester Dina Mayangsari

3 komentar:

Related Post

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...