HIKAYAT BEBIJIAN



Beberapa butir biji hilir mudik di sebuah pekarangan seminggu belakangan ini. Entah berapa liang tanah yang telah mereka susupi. Kadang di lubang cacing, kadang di bekas patukan burung, juga kadang di bekas kucing membuang kotoran. Tujuan mereka hanya satu, agar di musim panas yang segera berakhir ini mereka segera mendapat liang yang benar-benar aman dan nyaman untuk kemudian tersiram air musim penghujan yang tak lama lagi tiba.

Dari ufuk ke ufuk, matahari dengan malas menyaksikan bebijian itu hanya mondar-mandir setiap hari tanpa pernah memasukkan diri mereka pada satu liang dan menetap. Ayam-ayam pun gemas betul ingin mematuk-matuk. Namun sebuah pohon rindang yang Nampak bijak selalu dengan gesit mencegah sang ayam memangsa biji-biji imut yang nampak seperti berputus asa itu.

Bulan dengan setia berganti rupa hingga tibalah akhirnya musim penghujan. Dari hari ke hari, sekelompok awan berat dari selatan tampak murung dan makin tak kuasa menanggung air dalam tubuhnya yang menggemuk. Tak kuasalah mereka dan “Byurrr..”, air tertumpah… meruah mendadak membasahi pekarangan.

Ada biji-biji yang kekagetan. Tak siap, mereka akhirnya terseret arus. Membentur berbatang-batang tanaman serta tersangkut tak hormat di lilitan perdu. Mereka menangis sedih meratapi nasib yang tak terduga macam ini. Sebagian dari bebijian yang tak siap ini juga ada yang terseret arus hingga menjauh dari pekarangan. Ada yang akhirnya terlindas kendaraan, dijadikan mainan anak-anak, dan yang lebih tragis, tak kuasa menghindari patuk sang Ayam yang telah menahan nafsu berminggu-minggu.

Tapi ada juga biji yang telah siap. Dalam hati, mereka telah siap untuk melesakkan diri ke tanah bila ada sesuatu tak terduga yang mengancam. Ya macam hujan ini. Saat air tiba-tiba menderas, mereka segera membenamkan diri sejadi-jadinya tanpa pikir panjang. Keputusan ini membuat mereka kian galau sebetulnya. Sebab, alasan pasti kenapa mereka, biji-bijian ini berminggu-minggu tak meliang adalah karena memang tanah pekarangan ini sama sekali tak cocok bagi calon tumbuhan muda layakya mereka untuk bertahan di awal pertumbuhan. Pori-pori tanahnya teramat rapat hingga sulit bagi air untuk masuk sekaligus perlu perjuangan berat dan kasar untuk menumbuhkan akar meski sekedar untuk mengecambah.

Malang. Apalagi yang mesti terkata bagi para biji itu?

Tapi jangan salah. Karena ternyata ada juga sukaria. Di pelataran taman terbengkalai di luaran lingkungan pekarangan itu, Nampak juga biji-bijian yang tadinya bersama bebijian lain  dalam nasib yang serba tak jelas di pekarangan. Namun kini mereka saling bercerita haru tentang takdir yang menempatkan mereka pada cerita lain yang membahagiakan.

Diantara mereka sedari tadi terjadi percakapan yang ceria:

“Kau, hei biji mawar. Keberuntungan buatmu. Kenapa akhirnya kau tiba disini?”, kata sebutir biji pada biji mawar.

“Keberuntungan buatmu pula. Sungguh aku sama sekali tak mengira. Seekor merpati liar yang sejak dua hari lalu mengintai kita di pekarangan akhirnya mematuk dan menyelipkanku di paruhnya. Lalu ia terbang dengan segera menuju bukit sebrang sungai itu. Dan syukurlah mendung itu datang. Petir yang menggelegar membuat ia keget bukan buatan. Dan aku terjatuh, sedikit terayun angin dan jatuhlah disini.”

“Mendebarkan, sungguh beruntungnya kau. Aku sendiri sama mesti bersusah payahnya sampai kesini.”

“Apa yang terjadi denganmu?”

“Sejak seminggu lalu kudapati kita tak jumpa putusan apapun, akhirnya kuputuskan untuk nekat keluar dari pekarangan. Indukku menyampaikan banyak pesan agar aku bisa berkecambah dengan baik di awal musim penghujan. Aku adalah harapan indukku. Sebab itu aku mesti berhasil di musim ini. Aku pergi sejak hari itu. Mencari tanah yang kubutuhkan, yang ku yakin disanalah letak kebahagiaanku. Disamping itu Aku yakin pula pada Tuhan, kawan.”

“Nekat betul kawan, bebijian seperti kita tak layak melewati dataran luas seperti ini bersendiri seperti itu.”

“Ya, tapi memilih jalan berbeda bukan tak bisa kawan, itu mesti kulakukan selama yakin pada Tuhan dan berjuta kebaikan atas hasilnya.”

“dan lihatlah mereka yang lain itu, kawan-kawan yang sama terdampar di taman terbengkalai ini. Barangkali inilah takdir. Masing-masing dari mereka memilki ceritanya sendiri.”
“Kau lihat biji di tengah Taman yang Nampak kekar itu?”

“Ya, siapakah dia? Nampaknya akrab betul di mata”

“Tak sadarkah kau? Dia adalah putra beringin besar bijak di pekarangan itu.”

“Benarkah? Ya ya. Benar katamu. Pantas ia Nampak tak asing. Beringin besar bijak itu sungguh penolong kegalauan kita kala itu.”

“Dan bagaimana ia sampai di taman ini sungguh menyedihkan kawan. Ia dilempar induknya sendiri dari pekarangan itu.”

“Benarkah? Alangkah malang ia bila seperti itu. Namun ia tampaknya begitu bahagia. Apa gerangan yang terjadi?”

“Karena ia mendapat jawaban kawan.”

“Jawaban? Atas apa?”

“Pengakuan induknya pada dirinya. Ia selama ini amat terlindung dibawah naungan sang beringin. Namun ia berkali-kali memohon agar diperkenankan bergabung dengan kita biji-biji yang kebingungan ini. Suatu kala ia menangis menyaksikan kita hanya hilir mudik tak berarah, lantas memohon kembali pada induknya agar dapat memimpin kita menuju taman terbengkalai ini. Telah lama sebetulnya ia tahu ada tanah yang akan menumbuhkan bebijian apapun ini.”

“Lalu bagaimana sang Beringin mengizinkan?”

“Sang beringin tersentuh atas keluhuran putranya itu. Selama ini sang beringin hanya ingin agar putranya dapat tumbuh berdampingan dengannya. Namun ia sadar sang putra mestilah memiliki jalannya sendiri di dunia. Lantas demi menghalau berat hatinya pada sang Putra, dilemparlah ia bersama beberapa biji saat sang beringin telah melihat awan berat dari selatan itu.”

“Mestilah kita memang menjadikan ia pemimpin di tanah pengharapan ini. Beruntungnya aku. Beruntungnya aku sampai disini.”, tutur sang biji Mawar sambil melirik-lirik aneh pada kawan barunya itu. Ia baru sadar tubuh kawannya ini Nampak tak lazim.

Yang diperhatikan lalu tersenyum dan mengerti. “Kau lihat sesuatu d belakangku ini?”

“Ya, ap.. eh.. atau siapakah dia?”

“Dia saudara selahirku.”

“Apa? Lantas kenapa ia Nampak buruk sedang kau begitu bagusnya kawan?”

“Hai biji mawar, tak tahukah kau biji apa kami ini?”

“Tidak. Aku tak bisa mengenali dari jenis apa kalian.”

“Ya, tentu saja. Induk kami adalah seorang manusia pemilik pekarangan itu.”

“Manusia?!?”

“Ya. Manusia. Dan kami adalah biji hatinya. Aku adalah biji kebaikan, dan ia yang menempel bersamaku ini adalah biji keburukan.”

“Lantas kenapa kalian Nampak seperti ini? Ia bagai tersembilu dipangku malaikat maut sedang kau alangkah berbinar seperti habis dicumbui ratu bidadari?”

“IKHLASH kawan.”

“Ikhlash? Apa pulakah itu, tak pernah sebelumnya kudengar kata itu di kalangan suku bebijian.”

“Kata itu hanya kami, inti hati manusia yang tahu. Ia adalah semacam membiarkan sulur dibelai matahari hingga meninggi, atau membiarkan akar berkeras mendera bumi merengkuh-rengkuh air.”

“Kalau itu barangkali aku mengerti, kami menyebutnya Pasrah.”

“hehehe, Pasrah itu hanya untuk yang berpatah arang kawan. Seperti tak yakin mentari akan muncul esok pagi meski bertahun ia menyaksikan fajar menguapkan embun di dedaunan. Itulah pasrah, buat orang yang nyaris tak bertuhan. Ikhlash hanya buat mereka yang berupaya keras. Berupaya keras hingga dalam mimpi pun mereka bekerja keras. Di ujung ikhtiar keras itulah ikhlash berada kawan, saat tenaga tampias bergulungan membersamai do’a.”

“Rumit betul rasanya, barangkali beruntung kami bebijian tak mengenal rasa itu. Eh, lalu apa pula hubungan ikhlash itu dengan keberadaanmu disini?”

“Pertama. Kau salah bila mengatakan beruntung tak merasai ikhlash. Bukankah kau sendiri yang bilang rupaku elok bagai habis disambangi ratu bidadari? Inilah hadiah dari manusia yang berhasil mengupayakan inti hatinya meraih ikhlash kawan.”

“mm.. begitukah? Bila demikian, sungguh aku, sang bakal mawar, bunga tecantik perlambang perhiasan kan jua mengagumimu dengan segenap kejujuran.”

“Kedua. Manusia pemilik pekarangan kala itu tengah galau. Galau tak sembarang. Layaknya kita semua yang hanya hilir mudik tak karuan berbulan-bulan.”
“Kala itu ia berkeras ingin membiarkan kami, inti hatinya, bertumbuh di pekarangan karas itu agar lekat kami bersama hidupnya. Ia tahu betul pekarangan itu tak kan lagi mampu memberi jiwa bagi tetumbuhan apapun. Namun di nurani ia ingin kami menyubur segar.”
“Demi menimbang-nimbang itu saja ia galau tak karuan se-tak-karuan kalian bebijian di pekarangan.”

“Lantas? Bagaimana akhirnya ia memilih menumbuhkan kalian disini?”

“Itu perjuangan berat kawan. Ia ingin kami berdua tumbuh dengan baik demi kesenangan hidupnya. Namun sudah takdir Tuhan bahwa kami tak bisa tumbuh bersama di satu hati. Salah satu dari kami, aku atau saudaraku mesti ada yang melemah dan atau mati. Namun ia akhirnya berpikir panjang. Dalam bayangnnya, bila aku kelak tumbuh subur hingga besar dan menaungi, bukan ia saja yang akan menikmati, namun juga seluruh apa yang di sekitarku. Bahkan kaum burung di musim migrasi bisa singgah melepas penat dan mendapat pencerahan juga energi baru untuk melanjutkan perjalanan.”
“Berangkatlah ia dengan kaki bergetar menaggung berat beban perpisahan dengan kesenangan yang diimpi bila kami berada di pekarangannya. Namun ia sudah bulat, sepanjang perjalanan ke taman terbengkalai ini, ia merelakan kesenangannya pada Tuhan, sebab entah kenapa timbul keyakinan pada dirinya bahwa Tuhan akan rela menurunkan kesenangan apapun demi makhluk-nya yang berbuat benar. Ya, begitulah dan disinilah aku sekarang kawan. Bila kemudian kau saksikan kini rupaku yang hanya sekedar inti hati ini elok rupawan, bagaimana halnya yang terjadi pada manusia itu? Masihkah bisa kau bayangkan kebahagiaan yang dikaruniakan Tuhan padanya?”

“Amboi, indah betul perjalananmu kawan. Sebegitukah Ikhlash itu?”

“Seberat itu, sedramatis itu, sekaligus seringan biji kapas yang beterbangan itu. Bukankah ikhlash ini yang akhirnya mempertemukan kita di tanah segala pemenuhan janji ini? Dikaruniai tuhan untuk tumbuh matang dan dewasa. Bukankah kau, hei biji mawar,  mesti bergelut derita di paruh merpati sebelum akhirnya tiba disini? Bukankah si putra Beringin mesti tabah berhadapa dengan sang Ayah? Dan bukankah ‘manusiaku’ mesti galau berlama-lama? Dan bukankah bebijian lain di tempat ini semua nyaris mengalami derita serupa sebelum akhirnya dikaruniai Tuhan keindahan ini?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...