Jika ada yang jeli dua malam lalu
memperhatikan langit, dan dengan sedikit imajinasi, akan Nampak kumpulan awan
yang susunannya menyerupai tangan yang kepalannya terbuka lebar, dengan
‘telunjuk’ yang menyentuh bulan. Indah.
Namun itu tentu hanya imajinasi
yang ‘tergiring’ dengan segala purwarupa alam yang telah Allah sajikan bagi
kita. Bukan sebuah fakta, apalagi petisi teologis yang mesti diiyakan.
Namun diluar semua itu, sebagai
hamba yang selalu menginginkan ‘keuntungan’ yang banyak dari Tuhannya, kita
ambil saja apa hikmah yang tertangkap kala itu.
---
Kita semua dikaruniai Allah
dengan kadar masalah yang berbeda. Dan bila kita kemudian menghadapi
permasalahan kita masing-masing dengan penyikapan yang berbeda-beda pula, maka
akan terlihat mana yang permasalahan itu
berhasil menyemai iman yang baik, mana yang permasalahan itu sekedar
jadi benang-benang ujian yang dibuat kusut sendiri.
Hamdulillah, betapa rasa syukur
mesti selalu saya ungkapkan pada Allah yang Maha Tak terduga
rencana-rencanaNya. Betapa beruntung saya selama ini diberi karunia untuk belajar dewasa lewat
selalu berdampingan dengan kehidupan orang-orang ‘kecil’ yang dari mereka,
Allah titipkan banyak pesan kehidupan yang itu tak kan didapatkan meski antum,
kawan-kawan, belajar di Universitas termegah dimanapun.
Adalah Mang Ujang, seorang
tetangga dulu yang mengontrak sebuah kamar yang mungkin hanya berukuran 3×4 di
pinggiran makam di pojok kecamatan Dayeuhkolot. Di kamar sesempit itu, ia
tinggal bersama istri dan 3 orang anaknya. Setiap malam ia belanja untuk
keperluan jualan nasi kuning yang merupakan mata pencahariannya. Setiap malam
ia akan mengayuh sepeda ‘ringsek’nya ke pasar Caringin Bandung. Dan sering saat
menuju pasar itu, ia bawa serta dua anak perempuannya yang masih kecil: Tari
yang masih sekitaran dua tahun di depan, dan ana yang skitaran 3,5 tahun di
belakang.
Kadang bila sang istri sedang
ingin pulang ke kampung halaman, di daerah Cicalengka, Maka sepeda itu akan
jadi kendaraan ekslusif keluarga: Berempat satu sepeda!! Indah, mengundang
senyum dan haru, tapi miris tentunya.
Namun yang membuat saya sungguh
kagum, adalah kondisi jiwa Mang Ujang yang selalu bisa mengukir senyum di wajah
yang selalu mengguratkan lelah itu. Sepertiga malam, ketika yang lain senyap
dan ketakutan keluar karena di daerah tempat tinggal kami ini mitos
‘Kuntilanak’nya cukup menghebohkan, ada Mang Ujang di teras sempitnya, dengan
sajadah yang tergelar di depan tumpukan ember air dan di pinggir sepeda
andalannya, Ia menghaturkan munajat.
Banyak orang yang menjalani nasib
seperti Mang Ujang, yang lebih menyedihkan lebih banyak. Tapi yang menegarkan
kehidupan dengan cara seperti yang Mang Ujang lakukan tidaklah begitu banyak.
Sehingga kondisi jiwa yang labil akibat tekanan keadaan dan
lemahnya keimanan, banyak melahirkan kemaksiatan di tubuh umat:
Remaja, Pemuda. Begitu asik
tenggelam dalam kenikmatan yang dijejalkan Yahudi brengsek dan kaum kafir musuh
Allah.
Materialism, porno, candu, zina, semua jadi komposisi pas untuk diramu
jadi Dosa yang rasanya ‘biasa’.
Dengan
sepeda motor, satu unit HP, dan gombal-gambil tak tahu malu, seorang gadis
remaja mudah ‘terbayar’ untuk merubah status single jadi ‘In relationship’
di tangan lelaki-lelaki muda yang kebanyakan tak punya bayangan pasti akan masa
depannya sendiri.
Orang-orang Dewasa. Karena
mudanya yang ‘hilang didikan’, jadilah mereka orang yang selalu diliputi
gelisah sepanjang hidup. Gelisah itu adalah kutukan laten yang tak kan pernah
hilang sepanjang mereka tak memperbaiki hubungannya dengan yang Kuasa. Karena
gelisah yang tak kunjung terobati, maka mereka menjalani hidup melalui
‘pertaruhan-pertaruhan’. Tak ada yang pasti dari setiap ikhtiar mereka.
Semuanya sekedar memanfaatkan momen yang disitu ada kesmpatan lagi untuk memanipulasi
kondisi untuk terkerucut pada keuntungan-keuntungan.
Lain halnya dengan orang beriman.
Setiap ikhtiar mereka adalah kepastian. Sebuah keyakinan bahwa diujung segala
ikhtiarnya, mereka Yakin Allah telah tetapkan sesuatu yang Indah, yang baik,
yang membahagiakan.
---
Cukup dengan cerita tentang
kondisi umat kita. Karna saya yakin, antum semua juga lebih tahu bagaimana
kondisinya.
Sekarang, coba bayangkan apa yang
akan saya deskripsikan:
Dulu, waktu masih tinggal di
Bandung dan PP ke kampus dengan motor, yang saya rasakan adalah seperti ini.
Kehidupan penat. Dengan banyak problem disana-sini. Waktu pulang dari kampus,
saya akan melewati jalanan jatinagor yang ruwet yang dikiri-kanannya berjubelan
orang-orang, warung, kantin, mini market, toko-toko, tempat service inilah,
itulah, dll. Masuk kawasan Cileunyi, kesuraman bertambah lagi, angkot, bis,
ojek, banyak kendaraan membuat ruwet pemandangan. Masuk ke Cinunuk, Cibiru,
lebih geuleuh lagi. Suram. Suraam.
Belum nanti memasuki By Pass, Soekarno-Hatta, Cibaduyut,
Dayeuhkolot, arrggghhh…><
Ya, mata ini, jika pandangannya
selalu diposisikan untuk berhadapan dengan pemandangan yang ada di depan, maka
ya seperti itulah yang akan dirasakan.
Tapi saya punya cara tersendiri
untuk mengatasi kejenuhan seperti itu.
Jawabnya adalah langit. Ya,
langit.
Coba sesekali tengadahkan
pandangan kita ke atas sana, ada ruang lengang nan luas. Warnanya indah,
riak-riak awannya menyenangkan untuk dillihat. Hati jadi tenang, pikiran
rileks. Dan diantara debu-asap jalanan, akhirnya saya masih bisa tersenyum.
---
Begitulah, seperti yang saya
kiaskan di awal tulisan ini. Di langit sana ada
‘tangan’ Yang Kuasa untuk menempatkan kita pada kondisi apapun: larakah,
bahagiakah, tenang, gelisah, tertekan, bebas, apapun itu.
Maka saat segala problematika itu
hadir. Sempatkanlah diam sejenak. Lihat ke satu sudut kosong di hati dan
pikiran yang tengah sesak dengan persoalan, bahwa disitu ada Nurani yang
mengajak kita untuk sejenak saja menemuiNya, mengadu, dan membiarkan diri kita
yang selalu ‘merasa’ untuk sekedar menghamba, merendah di depan KUASA.
:)
BalasHapusNuhun kang...seperti skenario Allah saja...link ini muncul saat saya kritis di antara keyakinan yang nyaris retak...
(Galau tugas akhir... :) )
Mdh2n bgitu ya, moga bermanfaat :)
Hapus