Sekali Saja Tak Hujan






Dentuman petir tak mampu menyembunyikan pekik hati terliput khawatir nan sangat. Namun apa yang mampu wanita itu perbuat kini hanya mengembang-ngembangkan harap. Harapan agar bunga senantiasa mekar dibawah langit musim semi. Harapan agar langit cerah berani sekali ini menyibak kelam sekuat tenaganya. Jika toh pada faktanya awan cerah itu telah hilang daya untuk memenuhi harapan sang wanita, maka ia ingin menjadikan tiupan harap-harapnya untuk dapat menjadi daya itu. Daya yang mampu mendorong awan cerah merangsak gumpalan awan kelam yang memenuhi langit. Supaya cahaya rembulan bisa menerabas ke segala penjuru. Supaya jiwa jadi cerah karenanya. Supaya sang suami dapat tenang mengarungi laut hanya untuk malam ini saja. Malam ini saja. Supaya ia pada akhirnya bisa memberikan senyum jujur di hadapan anak-anak, bukan senyum yang tertarik-mengulum berulang-ulang sekedar menenangkan.


Bulan Oktober-November ini langit memang tengah tak berpaling pada wajah memelas para penjinak Samudera: para nelayan. Angin baratan mengibas kencang kadang siang kadang malam. Kadang mengencang semaunya selepas isya. Kadang berhembus kuat mengarak gumpalan awan berat ke arah timur laut. Angin barat daya pun demikian, tak jelas datangnya kapan. Hingga tak jarang ia datang ketika sore menjelang, saat nelayan-nelayan berperahu kecil bertenaga dayung pulang, saat arus beranjak surut. Disertai angin itu, angin barat daya yang memaksa otot lengan meregang-regang memacu laju perahu. Dan minggu ini cuaca menunjukkan puncak anomalitasnya. Rob tiba-tiba datang. Menekan badan sungai kecil yang membelah desa pesisir Wanita tokoh kita tadi dengan debit air yang meluap-luap, limpas menggenangi jalan dan rata mendatangi rumah-rumah.

Di jalan siang tadi, wanita itu hendak pulang habis menjemput anak perempuannya yang baru kelas satu. Bercerita banyak anaknya itu tentang pelajaran eja-mengeja, dan menyanyikan lagu garuda pancasila. Di simpang terakhir menuju rumah, ia bertemu Adin, seorang pemuda berumuran sekira SMA yang oleh penduduk desa itu dikenal sebagai nelayan ulung, sebab ia banyak tahu tentang jalur berperahu dan berlayar di perairan sepanjang utara desa mereka juga desa-desa sekitarnya.

Eh Teteh, darimana?” 
“Jemput si sulung. Ini sudah mau ke rumah.” 
ooh, Kang Hamid ada Teh?” 
“Akang tadi pagi sesudah ngantar si sulung, katanya mau langsung ke kidul Din, mau ke desa katanya, ada yang perlu diurus. Kenapa memangnya Din?” 
“Baguslah kalau begitu.” 
“Eh, kenapa memangnya? Ada apa Din?”
“Saya baru saja kembali dari laut. Mengerikan Teh. Saya sengaja berangkat pagi supaya jika ada apa-apa di Laut, setidaknya ada harapan untuk ada yang melihat jika dibanding malam hari. Tapi tadi, belum juga sampai ujung muara, tiba-tiba gerimis lalu hujan besar. Sekitar 20 menitan. Saya lalu menepi ke warung Koperasi yang dekat Empang. Lalu reda, dan saya melanjutkan perjalanan. Nah, baru saja saya selesai menebar Rampus, angin kencang tiba-tiba datang, langit gelap. Gelombang mendadak meninggi. Saya lalu menepi, sembunyi di bawah bako-bako. Hiiiy, ngeri Teh. Baru tadi jam sebelasan setelah hujan reda, saya tarik lagi jukung, kuatir kalau cuaca tak tertebak begitu.” 
masyaAllah… begitu ya Din.“ 
“Iya Teh, dan jangan sampai kang Hamid nanti melaut.” 
“Ah, itu mah pasti tidak Din. Teteh pasti larang keras si Akang.” 
“Iya Teh, memang seharusnya begitu. Ya sudah ya Teh. Capek saya. Untung saat saya pulang tadi arus tengah pasang, jadi mendayung agak ringan. ” 
“Iya Din, untung kamu memutuskan pulang. Lihat langit! Sudah mulai mendung lagi. Dan sepertinya akan Rob lagi.” 
huufft, iya Teh. Lelah juga ya Teh kalau alam sudah sulit dikenali. Yuk Teh ah, saya pulang dulu. Eneng, belajar apa tadi?”, sapanya sambil jongkok sebelum berjingkat pergi. “Ga RU dA mang! Garu daaaa..” kata anak kecil itu riang.

---

“Ibu, ada kesempatan Bagus. Ada jukung yang akan dijual murah. Cuma 650.000! sudah gitu di desa wetan ada yang mau jual jaring cingcin murah juga, 150.000!!” 

Kabar gembira itu membuka percakapan antara si wanita tokoh kita dengan Hamid, sang suami. 

eh kaang, Akang. Murah juga darimana uangnya atuh Kang?” 
“Iya, tadi ke Desa juga belum menghasilkan. Komisi jual tanah belum tentu kapan dibayarkannya.” 
Lah terus?, ya tunggu saja atuh kang. Mudah-mudahan rizkinya cepat turun. Cepat sampe ke tangan akang.”
“Cepat sampai gimana Ibu? Ya kalau mau cepat rizkinya harus dijemput.” 
Kan akang sudah ikhtiar tadi, biarpun uangnya belum ada.” 
Naah, itu artinya akang harus ikhtiar yang lain lagi Bu. Lagi pula, jaring dan jukung itu keburu banyak yang tahu dan berebut membeli. Habis harganya itu lho Bu. Murah sekali.” “Akang mau pinjam perahu mang Samin. Dia kan sedang sakit. Akang mau cari Lope (pari). Jual hatinya dan durinya.” 
“Akang jangan nekat. Cuaca sedang buruk. Adin saja tadi siang kembali lagi.” 
“Adin? Kembali lagi?? Ah masa iya Bu. Tak mungkin orang sepandai Adin nyerah pada cuaca. Dia itu pandai membaca alam.” 
“Justru karena ia pandailah Kang, karena ia pandai, ia bijak, ia memutuskan untuk tak membahayakan nyawa.” 
“…………………” 
“…..masih mau ngelaut?” 
“Sepertinya harus Bu.” 
“Buat apa Kaaang? Kenapa seharus itu?” 
“Akang lelah Bu!” 
“Lelah? Lelah gimana maksud akang? Ya yang namanya kerja mah pasti lelah atuh Kang.” “Kalau kerja sih tak masalah lelahnya. Yang buat jadi lelah itu karena akang selalu kerja pada orang lain. Bergantung pada mereka. Itu BU yang buat lelah. Sering tak enak jika telinga ini terlalu sering mendengar perintah-perintah: ini! Itu! Capek Akang Bu. Kalau kita punya jukung sendiri, punya jaring sendiri, kan bisa cari uang sekehendak kita tanpa menunggu-nunggu orang Bu.” 
“Tapi bahaya Kang jika malam ini.” 
“Malam besok. Akang mau pergi malam besok. Pasang tinggi belakangan ini bagus juga untuk dimanfaatkan Bu. Di muara Tiga sana pasti banyak Lope yang berenang dari laut. Akang akan tangkap sebanyaknya dan jual hati dan durinya. Pasti harganya mahal sekali Bu.” 
“Tapi Kang..” 
“Kalau tidak sekarang kapan lagi BU? Ini ikhtiar Akang. Untuk kalian juga.” 
“Tapi..”


---

Keesokannya. Menjelang sore Seorang laki-laki berkemauan keras tengah memeriksa motor tempel pada sebuah jukung. Mengisinya dengan solar. Menyalakannya beberapa kali. 4 buah joran sudah di-set supaya bisa menarik beban maksimal 20 kg.

Ia lalu menengadah ke langit selatan. Kuning saja, tak ada awan gelap. Ia lalu melihat ke seluruh penjuru. Aman. Hanya ada sekapas awan gelap saja di Timur Laut. Aman. Ia alu rasakan angin. Hembusannya teratur dari arah daratan. Ia rasakan lagi. Lihat awan lagi. Lihat arus. Lihat motor tempel, joran, dayung. Aman. Ia siap.


Ia lalu menerabas arus yang tengah naik itu. Membelah badan sungai yang sepi. Beberapa ekor burung tampak terlihat terbang dari Utara ke Barat daya. Mereka pulang. Ia pergi. Mereka berkelompok. Ia sendiri.


Sekitar pukul delapan malam, setelah sebelumnya arus naik memasang kencang, kini arus mulai berbalik. Mula-mula pelan saja. Lalu mengencang seperti tengah diusir oleh sebuah kekuatan yang tak kuasa dibendung. Rupa-rupanya angin darat yang semula tenang, perlahan namun penuh kepastian, mulai memburu laut seperti tengah berlomba sekencangnya menuju rimba air Cina Selatan.


Si wanita tokoh kita tadi kini benar-benar dikuasai puncak kekhawatirannya.
Si lelaki tadi tengah serius menarik-tahan reel-nya. Memepertahankan seekor lope yang sepertinya berbobot 6 kiloan. Setelah nyaris 20 menit bertarung, ikan itu akhirnya kepayahan. Lemas, dan si lelaki dengan mudah menariknya. 


Dentuman petir tak mampu menyembunyikan pekik hati terliput khawatir nan sangat. Namun apa yang mampu wanita itu perbuat kini hanya mengembang-ngembangkan harap. Harapan agar bunga senantiasa mekar dibawah langit musim semi. Harapan agar langit cerah berani sekali ini menyibak kelam sekuat tenaganya. Jika toh pada faktanya awan cerah itu telah hilang daya untuk memenuhi harapan sang wanita, ia ingin menjadikan tiupan harap-harapnya untuk dapat menjadi daya itu. Daya yang mampu mendorong awan cerah merangsak gumpalan awan kelam yang memenuhi langit. Supaya cahaya rembulan bisa menerabas ke segala penjuru. Supaya jiwa jadi cerah karenanya. Supaya sang suami dapat tenang mengarungi laut hanya untuk malam ini saja. Malam ini saja. Supaya ia pada akhirnya bisa memberikan senyum jujur di hadapan anak-anak, bukan senyum yang tertarik-mengulum berulang-ulang sekedar menenangkan.


Wanita itu, kini, benar-benar agar sekali ini saja tak ada hujan. Agar sang suami dapat menangkap lope yang banyak. Agar mereka dapat membeli sebuah perahu kecil dan jaring cincin. Agar hidup mereka tak lagi ada di bawah bayang-bayang juragan, agar mereka, bisa sekehendak hati memenuhi apa yang dimau tanpa harus menunggu dan diberi.


Si Lelaki melirik satu joran yang knurnya mulai memperlihatkan getaran menggembirakan. Ia terus memperhatikan getaran itu. Sangat sulit dalam gelombang seperti ini membedakan getaran knur yang memang tertarik mangsa, atau hanya tertarik-tarik arus dasar. Apalagi ia harus jeli memperhatikan 4 joran sekaligus. Ia terus asik memperhatikan satu joran itu yang knurnya menandakan mangsa sepertinya tengah mengulum udang yang ia umpankan, sebelum sejurus kemudian ia menyadari riak-riak laut yang mulanya relatif tenang kini mulai menggelombang tak karuan. Angin mendesir hebat menyusupi segala sela di badannya. Jukung mulai menari di tengah musik alam yang sedikit mengganas, tak lagi mengalunkan harmoni jelang malam.


Si lelaki kontan keheranan mendapati perubahan drastis ini. Cepat tanggap, ia lalu menarik joran-jorannya. Dan menggigit putus knur joran yang tadi tampaknya tengah berhasil memancing lope, karena saat ditarik ternyata memang berat.


Hujan mulai merintik. Angin mulai bertiup memutar tak menyenangkan. Ia lalu nyalakan motor, tak menyala. Ia lalu coba lagi. Menderu sesaat sebelum akhirnya mati lagi. Ia lalu terus coba. Hujan masih merintik, namun dengan interval yang jelas debitnya juga mulai tak menyenangkan seperti angin yang kini bertiup makin menyebalkan. Hujan mulai menderas. Angin kencang. Gelombang meradang, seperti ingin bertarung dengan angin yang meniup-dorongnya kesana kemari. Si lelaki dengan kepayahan berhasil menyalakan motornya. Lalu ia mengarahkan perahu kearah muara yang lebat, untuk sekedar sementara berlindung di bawah akar-akar bakau.


Namun ia terlambat. Sungguh-sungguh terlambat. Arus surut dari darat ditambah angin dari arah selatan yang membelok kearah timur laut teramat menekan laju perahu untuk menggapai daratan. Namun biarpun perlahan dan sulit, perahu kecil itu sedikit demi sedikit benar-benar terlihat melaju. Si lelaki tersenyum tenang. Namun ketenangan itu tak berlangsung lama.

Ketika perahu berada persis di depan muara, sebuah kawasan terbuka: Estuarin,  Perbatasan sungai dan laut!! Gelombang yang melaju dari arah timur laut sekaligus gelombang lain dari arah barat laut bergabung membentuk gulungan ombak yang kekuatannya makin dahsyat berkat kontur dasar pesisir itu yang memang lebih curam dari kontur lainnya. Ombak itu sungguh tak akan bisa dihindari…


Dan……PRAK!!!! Perahu kecil itu terseret kuat. Menggerasak rimbunan pohon bakau. Bagian kanan dinding perahu telah terpecah-pecah mengeping. Dan si lelaki….dengan agak lemah terkulai tersangkut di sebuah akar Stylosa, sambil menggamit bagian dari sebuah akar besar yang menggantung dari dahan diatasnya. Gamitan lemah itu lalu lepas dengan perlahan….


Petir menambah duka malam itu. Langit bumi seperti tengah saling membenci sehingga mengakibatkan apa yang ada diantara keduanya terombang ambing dalam arah yang tak tertebak: angin, air, petir, awan, badai, semuanya. Gamitan lemah si lelaki terlepas, dan ia tersungkur dibawah lebatan bakau, menyatu dengan lumpur-lumpur berpasir…


---


Keesokan siang kampung itu geger dengan ditemukannya seorang lelaki yang nyaris mati. Seorang nelayan penangkap udang melihat sebuah perahu rangsak di pinggir pesisir, dan ia mendapati seonggok tubuh yang berdarah banyak, pucat, dan tubuhnya dingin semua. Nelayan itu lalu membawa si lelaki ke Pelabuan lelang, untuk diantar dengan perahu besar ke desa terdekat ytang memiliki klinik yang terkenal cukup bagus pelayanannya.


Berita itu sampai dengan begitu cepat. Dari seorang nelayan penangkap udang, ke petani-petani Tambak pelelang ikan, kemudian ke para tengkulak, lalu ke Ibu-ibu pembeli, dan seterusnya hingga seantero desa nyaris tahu kabar ini hanya dalam tempo kurang dari 3 jam!!


Si wanita tokoh kita pun menangis seketika saat mendengar kabar itu, tubuhnya bergemetar hebat, ia shock. Setengah jam ia hanya menangis, tak beranjak untuk menelusuri kebenaran itu lebih jauh.


Di muka rumah tiba-tiba terdengar seseorang hendak membuka pintu. Tapi si wanita tak menggubris. Tok tok tok. Terdengar orang di luar mulai mengetuk-ngetuk. Tok tok tok. Ketukan terdengar lagi. Si wanita segera menyeka wajahnya yang basah, ia berharap orang diluar adalah saudara atau tetangga yang akan memberi kabar baik. Tok tok tok. Ketukan masih terdengar. Pintu dibuka, sosok seorang lelaki yang kelelahan berdiri disana.


“Akang??! Kang Hamid?” 
“Iya Bu, ada apa?” 
“Kang HAmiiiid.!!”, si wanita serta merta menghambur ke arah Hamid, memeluknya sambil sesenggukan. 
“Ibu? Ada apa Bu? Kenapa?” 
“Akang sudah sembuh? Akang tidak apa-apa?” 
“Kenapa-napa bagaimana? Akang kan memang sehat-sehat saja sejak kemarin pergi. Memangnya siapa yang sakit? Akang baik-baik saja kok.” 
“Tapi Kang..lalu siapa yang kata orang sedesa ini kecelakaan di laut?” 
“Kecelakaan? Siapa? Akang baru pulang dari Indramayu kok.” 
“Indramayu?? Bukannya kemarin akang akan teh ke laut? ” 


“Iya, benar. Tapi ketika sore kemarin ke rumah Mang Samin untuk meminjam perahu, ternyata sudah ada yang meminjamnya lebih dulu. Akang bingung, bagaimana mendapat uang untuk perahu dan jaring itu. Lalu akang coba ke desa, dengan harapan komisi penjualan tanah yang kemarin lusa itu bisa diambil. Benar saja ketika di desa, ternyata uang itu bisa diambil, dan ada tawaran lagi dari kades untuk membantu jadi perantara lagi mencari rumah untuk kakaknya hari itu juga. Beliau ingin di daerah Indramayu karena pindah tugas. Akang lalu coba tanya kesana-kemari, dapatlah rumah itu, dan kemarin sebelum magrib langsung kesana untuk membuat kesepakatan. Dan akhirnya, hamdulillah akang dapat sejumlah uang yang cukup untuk jaring dan perahu itu, malah sedikit lebih.”


Allahuakbar, syukurlah Kang…”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...