Hisyam dan Hikayat warna




Matahari tak lagi sama di mata Hisyam. Ia pun sering bergumam, apa sebabnya? Seringkali malah ia mengucek-ngucek mata, namun tetap saja matahari jadi berbeda. Sejak hari itu, ia selalu melihat matahari begiiiitu berwarna.


Apa ini sejenis kelainan? Bukan. Karena ternyata matanya sehat-sehat saja. Apa ada distorsi saraf-saraf optik di mata dan belakang otaknya? Tidak. Dokter pun mencap ia sehat sambil dua jempol diacungkan ke hadapannya diiring senyum puas.

Awal mengalami ini Hisyam kalut bukan main. Namun kelamaan akhirnya bisa juga ia terbiasa. Yang lebih membuat ia takjub, bahkan bulan pun ikut jadi berwarna. Namun warna–warna bulan yang ia lihat tentu lebih pucat dibanding matahari. Sebab esensinya bulan hanya menyundul balik cahaya matahari dengan sudut tertentu ke muka bumi kita.

Akhirnya kini ia menikmati betul. Sambil melihat matahari atau bulan berwarna, ia sering geleng-geleng sambil senyam-senyum. Takjub. Apa ini mukjizat? Ah, tentunya bukan (pikirnya). Yang jelas apapun ini, jelas ini sebuah karunia dan nikmat luar biasa.
---

Rerupa warna yang ia lihat sungguh menakjubkan. Bila terbit, matahari warnanya merah muda menyenangkan. Di waktu dhuha, agak kebiruan menyejukkan. Bila siang ia jadi hijau cerah yang meneduhkan. Terpeleset sedikit dari dzuhur, warnanya mulai kembali nyaris ke warna aslinya, kuning menyilaukan dengan gradasi orange khas warna cahaya. Lalu bila petang dan hendak pulang, matahari jadi violet, dan persis saat adzan maghriib tandang, violet itu membaur dengan banyak warna: biru menyala yang elegan, merah hati yang berebut tempat dengan merah muda, juga sedikit hijau yang sembunyi-sembunyi.

Ekstasenya dengan bulan malah lebih aneh lagi.

Memang kebanyakan kurang menarik sebab awal dan akhir penanggalan kalender, bulan pelit minta ampun memperlihatkan wajahnya. Sebab sudah sunnatullah fasenya memang begitu. Tiga hari menjelang tengah bulan, tiga hari saat tengah bulan dan tiga hari lepas tengah bulan pemandangannya jadi menyenangkan sebab bulan kala itu tengah mengobral diri memperlihatkan rupanya. 

Spesial saat tiga hari purnama, ada yang selalu membuat Hisyam rela tidur larut. ‘Kelainan’ pada matanya jadi sungguh kian ajaib. Namun sekali lagi, ini spesial hanya saat purnama. Tahukah? Bila Hisyam berkedip, sekejap matanya terbuka kembali bulan sudah berubah warna. Mengerjap lagi, berubah lagi. Tutup, buka, berubah lagi. Ajaib. Betul-betul ajaib.
---

Lalu bagaimana muasalnya Hisyam bisa seperti itu?

Hehe, waktu saya tanya Hisyam, ia hanya cengengesan seperti ini semua biasa saja. Terkaan saya, barangkali Hisyam mendapat berkah Lailatul Qadr ramadhan kemarin. Sebab penuturan para ulama serta ustadz, para mujahid sejati agama ini yang ‘mengalami’ ekstase pada Lailatul Qadr biasanya punya ‘bakat’ dadakan yang serba aneh dan sulit dicerna akal.

Namun bukan itu ternyata pengakuan Hisyam.

Dengan ringan, ia bercerita takzim:

kak, terima kasih. Terima kasiiiiih kakak sudah jadi bagian dari hidup saya. Kakak, sahabat-sahabat serta kakak-kakak yang lain adalah bagian takdir allah yang dalam dramaNya saya mengalami keajaiban ini.”

“Lha? Kok bisa begitu Syam??”

“Iya. Dulu, saya kehilangan matahari. Hari yang tak bermata itu, ya ternyata begitulah kak, kelabu sepanjang waktu. Ceritanya selama itu adalah lagu-lagu sendu yang disalingsahutkan lidah-lidah kelu dan hati batu.”

“.....(?)”

“Saya rindu dunia berwarna. Sampai setahun lalu saya ke kampus ini dan bertemu dengan kakak dan sahabat semua. Saya lalu dihadiahi Allah mentari itu.”

“.....(-__-!) *gemerusukmencernakatakatanya

“Agama ini Kak. Inilah matahari paling bersinar itu. Dicari ke pelosok semesta paling terkucil pun, Agama ini tetaplah terang. Cahayanya tak hanya merambat melalui ruang bermassa dan ruang hampa. Tapi juga secara ajaib, Allah rambatkan lewat perasaan. Dan itu bisa menyalakan pelita iman dalam hati.”

“Iman redup dan hati yang gelagapan memandang dunia itulah yang dulu membuat saya kehilangan matahari Kak. Kehidupan rasanya begitu-begitu saja apapun yang saya perbuat untuk membuat dunia berwarna yang diharap-harap.”

Kak? Kak Ron?..”

“Oh..eh iya iya. *sadardarigemerusukpikiran

Fahim kan cerita saya?”

“Iya iya, kakak menyimak kok Syam, dan insyaAllah paham (-__-!!)”

“Begitulah Kak. Beragam interaksi yang kemudian saya alami dengan kawan-kawan disini, kian menunjukkan pada saya betapa paripurnanya petuah agung ini. Masalah apapun, perasaan apapun, konflik apapun, kajian apapun, semuanya dengan terang telah dipaparkan lewat ayat-ayat yang menggembirakan. Hebat bukan agama ini?”

“Lalu bagaimana mungkin saya tak mengantongi agama ini kemanapun dimanapun saya Kak? Ia (maksudnya agama ini), bila saya menghadapi situasi apapun, dengan remeh akan saya keluarkan dari kantong dan tampakkan pada orang-orang. Selesai Kak. Semuanya selesai. Betapa Fleksibel. Agama ini, islam ini purnawarna purwarupa buat saya, hamdulillah.”

“MasyaAllah.... pandai nian kamu ini Dik. Lalu bagaimana kisah kedip-mengedip purnama itu? Apa maknanya?”

“Saya pikir begini kak. Mengevaluasi keterpaduan kita dengan agama ini saaaangat sangat penting. Bila ada hitung-hitungannya, lalu diakumulasikan, jumlah keterpelesetan kita dari memegang teguh agama ini ternyata cukup besar. Sering saat memutuskan ini-itu , akal kitalah yang jadi jadi pemutus perkara. Plus juga, perasan jadi acuan. Haduuh, paduan panduan yang kacau Kak.“

“Tapi agama ini realistis syam..”

“Iya, betul sekali kak. Tapi mohon maaaf ini ya kak. Terlalu realistis dalam beriman itu tidak idealis sekaligus merusak esensi realistis itu Kak”

“(><!!!!!!)”

“Sebab, di agama ini kita diajak untuk punya kepercayaan tunggal pada Tuhan kak. Apa yang Dia suruh, ya begitulah seharusnya. Begini ya seyogyanya begini. Jika begitu, ya jangan melakukan yang diluar dari itu. Iman mainan utamanya disini Kak. Percaya. Percaya sepenuhnya. Sebab kita tak akan selalu bisa menyandingkan ‘Jalan pikiran’ Tuhan dengan akal dan perasaan. Ia selalu lebih tahu segalanya tentang yang serba baik buat diri kita.  Pucuk akal kita tak akan pernah bisa cukup untuk tumbuh menyentuhNya.”

“Oke oke Syam, coba kembali ke purnama Syam. P-U-R-N-A-M-A.”

“Hoh, iya kak:p. Mesti ada waktu pilihan untuk merenungi segala kekeliruan ‘keimanan’ itu kak. Dan buat manusia yang memang fitrahnya sibuk kala terang, keheningan malam adalah pilihan terbaik bagi kita yang terbiasa dengan kebisingan di siangnya. Memahami, memperbaharui iman, merenungi kesalahan-kesalahn di waktu ini sungguh ajaib Kak. Kalut hati saya dibuatnya. Kadang jadi ingin menangis sendiri, kadang malah ingin tertawa bila menyadari kekeliruan, dan kadang muncul perasaan lain Kak. Ajaib bukan?”

“(-saya- tersenyum takzim dalam hati...)”

2 komentar:

Related Post

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...