Sebulanan ini, ada kejadian menarik di rumah kami. Seekor ayam mendadak bersarang di atas langit-langit. Ini sungguh mengganggu. Sepanjang hari, terutama saat malam, bunyi si ayam yang hilir mudik sambil sesekali mematuk-matuk sesuatu sungguh buat pusing. Tak perlu banyak selidik, ternyata ia adalah seekor calon Ibu yang ingin diri dan anaknya serba selamat sampai saat ‘persalinan’. Dan bagusnya, ia benar-beanr sukses bertahan sampai telur-telurnya tuntas menetas. Sedikit haru juga si ‘pengganggu’ itu ternyata selama ini adalah seekor pejuang. Dan ia berhasil. Parahnya, sampai sekarang ia belum juga meninggalkan langit-langit rumah ini, sehinngga para pengeciap baru itu ikut meramaikan suara berisik Induknya sebulanan ini.
Tak habis pikir. Kenapa juga ia pilih langit-langit rumah? Dan bagaimana juga ia bisa naik? Pertanyaan-pertanyaan ini ada yang terjawab, ada yang tidak. Namun yang jelas, apa dan bagaimanapun perilaku hewan adalah serba-serbi tuntutan naluri. Bertahan. Itu saja. Yang penting selamat dari ‘predator’ dan bisa berketurunan. Mereka (para ayam) juga pasti sesekali punya keinginan agar jerih payah ‘ngeden’ mereka tak berakhir di penggorengan.
Ayam saja demi selamat, mencoba mencari cara teraman agar tetap bertahan. Kemudian yang saya heran adalah bagaimana dengan manusia. Manusia sekarang malah ramai-ramai makin menyesaki sumber permasalahan. Misalnya, pusat keramaian, kota besar, kawasan industri, dan lainnya. Kenapa tidak seperti ayam saja (dalam konotasi positif tentunya)? Semaksimal mungkin memilih dan mengupayakan cara teraman untuk bertahan? Bukan malah menyesaki sumber permasalahan?
Itulah hikmah ajaib yang mesti kita petik sahabat sekalian. Bahwa manusia punya sesuatu yang tidak dipunyai ayam. Hal penting yang membuat mereka bisa mendadak nekat menyahut petir: HARAPAN. Itulah sumber energinya. Ayam tak punya harapan sebab memang tak berakal dan tak punya perasaan barang sejumput pun. Manusia, spesial Allah beri akal dan perasaan, sehingga bisa memiliki harapan.
Hati kita perlu terus-menerus ditéra sahabat sekalian. Agar kadar harapan dalam diri kita bisa terus dikondisikan supaya selalu sesuai dengan kapabilitas, realitas, juga variabel situasi kondisi lainnya. Orang yang punya harapan berlebih dan terlampau Idealis (ego sebetulnya), potensinya untuk menggasak hajat hidup orang banyak cukup besar. Mereka yang terlau realistis, potensinya yang bisa-bisa menonjol adalah menyerahkan harapan mereka pada tuntutan-tuntutan. Lalu lain lagi dengan yang pragmatis-oportunis. Pekerjaan yang banyak mereka adalah Hope Re-Installing, pastinya selama keuntungan selalu ada di alur pikir mereka yang pendek. Nah, terkahir, ada juga yang tak punya harapan. Ini hanya bagi dua saja. Yang Gila, dan mereka yang telah mendapat gelar master kehidupan: para Almarhum.
Sahabat sekalian, kita tak harus menjadi satu diantara keempat jenis manusia tadi. Kita cukup punya keadilan.
Sadarkah kita sahabat, bahwa mimpi, harapan, cita-cita dan semacamnya yang bisa digolongkan pada kelompok Ekspektasi, adalah buntut dari idealisme. Dan itu adalah hak. Siapapun boleh berekspektasi seperti apapun. Karena sekali lagi, itu adalah Hak.
Lain halnya dengan Kenyataan. Amanah hidup kita adalah realitas. Tanggung jawab keorganisasian, pekerjaan, keluarga yang jadi tanggungan, dan semacamnya adalah kelompok Amanah. Amanah adalah buah realitas. Dan realitas adalah Kewajiban. Sekali lagi, amanah adalah kewajiban.
---
Dulu, saya tak mengenal istilah runtuh idealisme. Jika kata saya lingkaran itu kotak, maka teman-teman tak akan mampu menggeser barang sedikitpun bagian yang salah di otak saya yang mengatakan kekeliruan itu.
Namun hidup memang ajaib sahabat sekalian. Allah pertemukan saya dengan seorang kawan yang lalu mengenalkan istilah baru: Idealisme yang dikorbankan. Ini tidak membuang idealisme, tapi menyimpannya sementara waktu sampai keadaan lebih memungkinkan. Menahannya untuk turun sesaat dari prioritas.
Maka, mari sahabat sekalian, kita jadi manusia yang selalu berharap sambil terus menyetir idealisme kita agar tetap di lajur yang diridhai Allah. Kita ikhtiarkan adil pada amanah dan ekspektasi, sebab adil, akan lebih mendekatkan kita pada takwa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar