Bersama Luna



Tak mudah mencapainya. Tempat yang sempurna. Setidaknya selama ini demikian. Bertemu masa yang tepat, akan ada kesempurnaan lain yang terbentuk.


Itulah setidaknya yang diharap sang lelaki. Dia, manusia satu-satunya di ngarai itu. Peluh meruap dan mengembuni kacamatanya. Seluruh sendinya pegal tertawan beban. Ia rebah serebahnya, membiarkan angin yang menempias dari celah-celah batu melonggarkan syaraf-syarafnya.


Di lembah sepenaikan puncak lagi, ada sesuatu yang ia ingin segera jumpai.


---

Setahun lalu, ia nyaris terjebak saat melakukan pendakian. Selama seharian penuh, terpisah dari kelompok dan kebingungan. Meski bekal nyaris habis, beruntung hutan itu kaya dengan tumbuhan yang dikenalnya dapat dimakan.


Saat malam, ia panik tak menemukan sungai. Meski katanya aman, namun ia tak ingin membiarkan resiko tanpa antisipasi. Nyaris tengah malam, tak terdengar sepercik pun suara air. Di tengah ketegangannya, ia membayangkan betapa suara air saja bisa menyegarkan dan menenangkan. Nihil. Tengah malam ia kelelahan dan tak hendak meneruskan perjalanan.


Entah dimana kawan-kawan. Entah kemana arah tujuan. "Jangan biarkan aku sendirian", hanya itu yang disuarakannya berulang dalam hati.


Tiba-tiba ia mulai merasakan sesuatu. Udara hangat, semilir melalui celah tubuh yang luput tertutup. Meski ia kelelahan dan nyaris putus asa, ia tahu bahwa ini bukan ilusi. Udara sehangat ini, tak ia pikir bisa ada di pegunungan.


Demi mengetahui apa ini sebenarnya, ia memaksakan diri berjalan. Satu kilometer beranjak, ia terkagum. Dibalik rerimbun hutan ternyata terhampar stepa. Satu-satunya yang menggembirakan dari menemukan Stepa ini adalah bertemu dengan sumber semilir angin hangat tadi. Apanya yang menyenangkan disini? Rimbun tidak, Kering tidak juga. Ia berharap sebuah sungai atau oase kecil ada di ujung hamparan ini. Namun lelah, apa daya? lebih baik rebah saja. Serebahnya, lampiaskan lelahnya.


Ia yakin lebih baik memang begini. Sambil memandang langit, ia bisa banyak berimajinasi.


Lelah tak kan membiarkan ruang imajinasinya tertutup. Ia membayangkan peri-peri cantik tiba-tiba muncul dari sela rumput yang tingginya tak seberapa di padang stepa ini. Lalu mengerubungi dan mengangkatnya terbang sampai nyaris menyentuh bintang. Disana, ternyata ada lagi peri langit berpemimpinkan seorang pangeran Peri. Tiba-tiba ia dihadapkan padanya dan ditawari permohonan.


Ia bingung. Hatinya buncah dengan segala fantasi ini. Bingung bingung bingung..

Lantas terbersit dan begitu saja terucap apa yang diulang-ulangnya di hutan sepanjang hari, "Jangan biarkan aku sendirian.."

"Baiklah.. keinginanmu telah dikabulkan.."


Ia masih tak mengerti. Sungguh tak mengerti.

Ia lalu menyemburkan banyak pertanyaan. Ingin menepiskan penasaran.
Namun percuma. Kerongkongannya tak mengalirkan suara.
Dan disaat sang Pangeran Peri mengucap sesuatu,
ia juga sama sekali tak mendengarnya.
Seorang peri cantik lalu terbang menghampiri,
Meski kecil, namun harum bunga dari kibas sayap mungilnya sungguh menyenangkan.
Ia mendengar sesuatu dari bisik si Peri Cantik, ia mendengar sesuatu.

Namun sebelum jelas, ia terperanjat bangun. Pandangannya kabur, sibuk meraba dimana kacamata.

Cahaya menembus kanopi hutan di seberang. Ia baru tahu kalau itu timur. Semangat, ia pun menggeliat. Menggerakkan pinggang yang disertai bunyi gerutuk tulang. Dan disaat itulah ia terpesona, dijumpainya sesuatu yang istimewa itu.

Sesuatu yang membuatnya ingin kembali lagi kemari suatu hari.

---

Sehabis melewati sebuah puncak lagi, sampailah ia disana. Stepa hampa yang hanya ramai oleh atap langitnya jika malam hari. Namun, Luna membuat malam di stepa itu penuh dengan nuansa ekstase. Dia adalah peri Cantik yang dikirim sang pangeran peri langit kesini. Saat dirinya kelelahan, saat dirinya tak ingin sendirian. Dimuka tenda ia bersila, memandang takzim ke arahnya.  

Dinamainya Luna. Perdu indah yang berpendar bila dipulas cahaya bulan. Merona saat senja seperti Humaira yang kegirangan dipuji Rasulullah. Berekahan bila fajar, dengan tempias jingga yang diserapnya dari cahaya. Amat elok, tak mencurangi harga yang mesti ia keluarkan untuk meraihnya.


Hingga sekarang, ia tak habis pikir. Kenapa dulu sampai bisa terpisah dari kawanan? Kenapa sampai terperangkap di hutan? Kenapa saat lelah ada angin hangat yang datang? Kenapa masih sanggup berjalan menuju stepa? dan kenapa ia rebah tepat disana!


Ia tak ambil pusing. Baginya, inilah cara Tuhan mendamaikan ketakutan, kegelisahan dan kesepian. Inilah jalanNya memberi ketenangan. Inilah petualangan yang mesti ditempuh untuk menemukannya, sekuntum Luna di hampar stepa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...