#fikmin-1


"Melarikan diri kesana hanya akan membuatmu makin gusar. Terimalah kenyataannya."
"Tahu apa kau Yas? TAHU APA??!"
"Disana kau bertemu Aina. Disana kau menyemai cinta padanya. Apa yang tak ku tahu? Aku ini..."
"PENGKHIANAT!! Kau Pencuri Yas!"
"..."
"Kau tak memegang Kata-Katamu!! Kau... KAU.."
"Aku sahabatmu. Sahabatmu. Aku mohon, jangan kembali kesana. Aku dan Aina telah sepakat, aku akan pindah mengajar kesana setelah kami menikah. Bila kau tak mau kian sakit, tolong.. jangan kembali kesana."
“Peduli apa kau dengan perasaanku Yas? Hah? Bila Aina saja kau curi, apa hatimu masih menyimpan peduli?? Sahabat? Ternyata Persahabatan adalah bualan Hebatmu selama ini. Kenapa tak pernah kau ceritakan bahwa kau pembual berbakat Yas? Pendusta! Penipu!!”
“Aina… Aina.. dia..”

“dia sedang menungguku Yas. Dia menungguku. Aku bukan ingin berlama-lama di Jerman. Kau tahu itu!”
“Aku mengerti, aku paham keadaanmu.”
“Lantas??”
“Karena itulah, tenangkan dirimu. Mari masuk. Hampir malam. Aku yakin kau masih suka teh Pahit panas. Mari..”
“Biarkan aku disini Yas. Setidaknya angin di atap bisa meredam amarahku. Lagipula senja sepertinya lebih bisa mengerti diriku sekarang.”
“Baiklah.. aku turun dulu sebentar. Akan kubawakan teh panas.”

---

“Kenapa? Apa lidahmu lebih bisa menerima cokelat sekarang ketimbang teh?”
“Sudahlah, hentikan basa-basimu. Aku masih tak mengerti. Tak habis pikir. Bukankah ia akan sabar menunggu? Dan lalu kenapa mesti denganmu??”
“Aina.. ia.. ia bukan tak sabar. Ia juga tak lelah menjaga hatinya untukmu. Ia.. ia..”
“Kenapa Yas? Apa alasan sebenarnya?”
“Aina.. ia.. ia tak punya waktu. Ia hanya tak bisa lebih lama menunggu. Ia.. akan dinikahkan.”
“Di,,Ni kah kan..?”
“Ya, orangtuanya tak punya waktu. Tahun kedua saat harusnya kau pulang, Ayah Aina dipastikan hanya akan mampu bertahan setahun lagi. Sakitnya komplikatif. Dan kian parah melihat putri semata wayangnya bersedih terus menanti dan menanti. Andai waktu itu kau beranikan dirimu.”
“astaga.. tidak.. tak mungkin. Tak mungkin!”
“Kau bisa saja menikahinya sebelum berangkat bukan?”
“tidak..tidak..”
“Kau harusnya kesampingkan keraguanmu. Ragulah yang membuatmu akhirnya harus mengalami ini.”
“Bukan, tidak! AKu hanya perlu saat sempurna Yas. Itu! Dan kau mestinya tahu!”
“Aku tahu. Aku tahu bahwa kau peragu. Dan kau pun mesti tahu..”
“….tidak..”
“Kau mesti tahu.. bahwa aku.. bahwa aku punya hak untuk mencintainya. Ake menyayanginya sebagaimana kau..”
“APA??... KAU…?? Hentikan bualanmu Yas!”
“Kau tak kan menjumpaiku bisa sejujur ini lagi. Aku pun lelah. Lelah melihatmu ragu. Lelah melihat Aina menyia-nyiakan waktu menunggu peragu.”
---


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...