"Melarikan diri kesana hanya akan membuatmu makin
gusar. Terimalah kenyataannya."
"Tahu apa kau
Yas? TAHU APA??!"
"Disana kau
bertemu Aina. Disana kau menyemai cinta padanya. Apa yang tak ku tahu? Aku
ini..."
"PENGKHIANAT!!
Kau Pencuri Yas!"
"..."
"Kau tak memegang
Kata-Katamu!! Kau... KAU.."
"Aku sahabatmu.
Sahabatmu. Aku mohon, jangan kembali kesana. Aku dan Aina telah sepakat, aku
akan pindah mengajar kesana setelah kami menikah. Bila kau tak mau kian sakit,
tolong.. jangan kembali kesana."
“Peduli apa kau dengan perasaanku Yas? Hah? Bila Aina
saja kau curi, apa hatimu masih menyimpan peduli?? Sahabat? Ternyata Persahabatan
adalah bualan Hebatmu selama ini. Kenapa tak pernah kau ceritakan bahwa kau
pembual berbakat Yas? Pendusta! Penipu!!”
“Aina… Aina.. dia..”
“dia sedang menungguku Yas. Dia menungguku. Aku bukan
ingin berlama-lama di Jerman. Kau tahu itu!”
“Aku mengerti, aku paham keadaanmu.”
“Lantas??”
“Karena itulah, tenangkan dirimu. Mari masuk. Hampir malam.
Aku yakin kau masih suka teh Pahit panas. Mari..”
“Biarkan aku disini Yas. Setidaknya angin di atap bisa
meredam amarahku. Lagipula senja sepertinya lebih bisa mengerti diriku
sekarang.”
“Baiklah.. aku turun dulu sebentar. Akan kubawakan teh
panas.”
---
“Kenapa? Apa lidahmu lebih bisa menerima cokelat
sekarang ketimbang teh?”
“Sudahlah, hentikan basa-basimu. Aku masih tak
mengerti. Tak habis pikir. Bukankah ia akan sabar menunggu? Dan lalu kenapa
mesti denganmu??”
“Aina.. ia.. ia bukan tak sabar. Ia juga tak lelah
menjaga hatinya untukmu. Ia.. ia..”
“Kenapa Yas? Apa alasan sebenarnya?”
“Aina.. ia.. ia tak punya waktu. Ia hanya tak bisa
lebih lama menunggu. Ia.. akan dinikahkan.”
“Di,,Ni kah kan..?”
“Ya, orangtuanya tak punya waktu. Tahun kedua saat
harusnya kau pulang, Ayah Aina dipastikan hanya akan mampu bertahan setahun
lagi. Sakitnya komplikatif. Dan kian parah melihat putri semata wayangnya
bersedih terus menanti dan menanti. Andai waktu itu kau beranikan dirimu.”
“astaga.. tidak.. tak mungkin. Tak mungkin!”
“Kau bisa saja menikahinya sebelum berangkat bukan?”
“tidak..tidak..”
“Kau harusnya kesampingkan keraguanmu. Ragulah yang
membuatmu akhirnya harus mengalami ini.”
“Bukan, tidak! AKu hanya perlu saat sempurna Yas. Itu!
Dan kau mestinya tahu!”
“Aku tahu. Aku tahu bahwa kau peragu. Dan kau pun
mesti tahu..”
“….tidak..”
“Kau mesti tahu.. bahwa aku.. bahwa aku punya hak
untuk mencintainya. Ake menyayanginya sebagaimana kau..”
“APA??... KAU…?? Hentikan bualanmu Yas!”
“Kau tak kan menjumpaiku bisa sejujur ini lagi. Aku
pun lelah. Lelah melihatmu ragu. Lelah melihat Aina menyia-nyiakan waktu
menunggu peragu.”
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar