#Jengkol 1
17 Oktober 2012, tukang becak dan ojek di jalan... girang bukan main. Pasalnya, mendadak mereka yang berada di seputaran sebuah Rumah Makan diajak untuk makan siang gratis. Siapa yang bayar? mereka awalnya tak tahu. Tapi ketika Ahmad Heryawan datang, tahulah mereka Pak Gubernur ternyata.
Makan pun berjalan dengan santai. Sambil menyantap menu yang terhidang, obrolan-obrolan kecil pun meluncur. Mulai dari keluhan warga, pedagang, buruh sampai mereka para tukang ojek dan becak.
Gubernur biasanya hanya manggut-manggut. Mengerti apa persoalan mereka. Tahu apa yang mereka harapkan. Namun memberi dana segar bukan jawaban realistis. Sebab
ketimbang membeli ikan, memancingnya bisa lebih banyak mendatangkan manfaat. Dengan memancing, takhanya ikan yang diperoleh. Ada kesabaran, ada pengetahuan tentang cuaca, ilmu berperahu, dan banyak hal lain.
Itu pula sebenarnya yang sudah dijawab kang Aher sebelum pertanyaan dan keluhan itu didengarnya. Jalan yang sudah jadi mulus di jalan .... ternyata di-iya-kan tukang ojek dan becak sangat meringankan kerja mereka. Dan bisa bersekolahnya anak-anak SD dan SMP mereka dengan gratis adalah investasi besar masa depan. Itu, bila selama ini mereka bekerja untuk anak tercinta.
Biasanya bila sedang seperti ini obrolan selalu diisi kang Aher dengan hal ringan bermanfaat yang tak terduga. Macam ketika ia melihat cabe, ia beritahu bahwa itu adalah obat mujarab anti pikun selain tentunya dzikir. Atau tentang anjuran mengurangi kadar makan nasi. Menggantinya dengan ubi, ketela, atau jagung sebenarnya bukan masalah. Mencoba menggeser paradigma rakyat kita yang moal wareg mun teu manggih sangu, seloroh Gubernur.
Selesai makan dan diwawancarai, ia duduk di meja yang diisi para waratawan. Melihat cukup banyak petai yang tersisa, ia heran:
"Kok petenya masih banyak? sayang nih."
"Kan makruh Pak."
"Makruhnya kenapa?"
"Kan bau Pak."
"Iyaa, itu jadi makruh kan karena baunya bisa mengganggu. Apalagi kalau waktunya ibadah. Boleh-boleh aja kok makan pete atau jengkol."
"oh, gitu ya Pak?"
"Iya donk, asal cepet ilangin baunya. Nih, saya dari tadi ngulum permen. Soalnya abis makan pete juga, hehe."
Kang Aher menjelaskan perihal hukum memakan petai/jengkol pada wartawan |
#Jengkol 2
Jika jengkol yang tadi tak ia hindari padahal banyak yang mengira ia sebagai ustadz pasti anti, jengkol yang ini justru ia rada anti. Padahal Jengkol satu ini mestinya lekat dengan pejabat sepertinya. Naah, jengkol apakah yang dimaksud?
Tanda Jabatan. Ya, benda bulat melingkar berwarna emas yang biasanya disematkan di dada kanan pakaian dinas.
Entah berapa kali ia ditegur oleh protokol atau rekan kerjanya, namun tetap saja tak dipakainya. Bila suatu kali tengah diadakan acara di sebuah daerah, dimana para pejabat setempat datang mulai dari aparat desa sampai bupati, ada pemandangan menarik. Camat dan atau kades tampil dengan jengkol yang mengkilat dan besarnya meninju mata, sedang Gubernurnya biasa saja. Pakaian dinas tanpa atribut hanya seperti kemeja/safari polos sederhana.
Di satu sisi, menyenangkan melihatnya demikian. Bersahaja, itu kesan yang tak bisa ditampik. Namun di lain sisi, rikuh juga mendengar orang-orang bertanya "mana Gubernur?" atau "Gubernurnya mana?" mengingat biar sudah empat tahun menjabat, Ahmad Heryawan tetap adalah figur baru bagi Jawa Barat.
Seandainya Jengkol satu ini dikenakan, mungkin orang akan lebih mudah mengenal. Namun, bila yang bersangkutan tak mau? Ia mengaku, sudah dua tahun terakhir tak mengenakan pakaian resmi bertanda pangkat disana-sini. "Gak betah, enak begini saja. Paling diapaki kalau ada acara dengan presiden", akunya.
Ini contohnya, ketika dalam sebiah acara ia didampingi seorang wakil Bupati (kiri). Bajunya polos saja bukan? |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar