Kenapa sejarah dunia dimulai dengan drama Adam Hawa?
Kenapa sang Nabi mesti khilaf di Surga?
Kenapa mereka diuji Tuhan terpisah di dunia?
---
Pertobatan itu sungguh manis. Jabal Rahmah yang jadi saksinya. Kala itu
dunia serba balita. Tak ternoda campur tangan manusia. Langit masih segar. Air yang melintasi oase-oase disana pun jernih. Bumi masih gagah, tak ringkih seperti halnya kini.
Air mata Adam as menderas. Sesal sesesal-sesalnya. Ia teramat lelah mengitari bumi. Tak mudah disini meraih santapan nikmat. Airnya pun tak manis seperti di surga. Di dadanya berkecamuk ragam emosi. Takut pada Allah, kekasih yang mengajarinya Ilmu dan kasih sayang. Ia juga mengingat nasib Hawa. Manusia yang Allah cipta untuk menambal sepinya. Ia marah pada Azazil. Marah pada dirinya sendiri.
Hampar Arafah pun bertasbih. Mengiringi ucap pertaubatan. Lelaki pilihan itu baru saja melihat istrinya. Raga saling berpeluk. Rindu bertemu rindu. Namun ada yang masih membuat gusar. Masihkah Allah mencintainya sebagaimana ketika dulu ia dikasihi? Akankah Allah mengampuni setelah ia mengkhianatiNya?
Rintih hati Adam pun bersambut. "Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya" (QS. al-Baqarah: 37)
"Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi ". (QS. al-A'raf (7) : 23)
Begitulah, dengan dadanya yang gemuruh Adam meminta.
dan begitulah patok sejarah tertanam. Kita, keturunan sang Adam pun hingga kini berpusar pada nasib yang tak berbeda. Kita adalah korban tipu daya anak keturunan Azazil. Pun terutama korban kekhilafan dan tipu daya diri sendiri.
Godaan, Khilaf dan Sesal. Siklus yang selalu akan mengitari hidup kita. Dalam benak saya, rasanya siklus ini tak kan berhenti. Sederhananya, kita pasti berpikiran jika ini tak berlaku bagi mereka yang memiliki keintiman ibadah pada Ilahi Rabbi.
Namun tidak. Pada tingkatan orang-orang shaleh, siklus tersebut beranjak pada level yang lain. Bisa jadi, kesalahan kecil bagi kita sungguh fatal buat mereka. Sebab itulah saya beranggapan siklus ini abadi.
Bukankah sudah terjawab pertanyaan diatas?
Tentang mengapa sejarah dimulai dengan tragedi Adam Hawa. Ya, apa yang terjadi antara jin (Azazil) yang menggoda, Adam as serta Hawa sungguh sudah sangat mewakili segala macam konflik di bumi. Meski terbentang lamanya Milenia antara kita dan manusia pertama, inti konflik hidupnya selalu sama. Harta, Kedudukan dan Cinta hanya jadi sampul atas guliran peristiwa tadi.
Kita sudah membaca catatan panjang sejarah Revolusi. Kita juga sudah sangat kenyang dengan intrik dan konspirasi politik. Hati kita juga entah telah lumer ke berapa kali dimerahi kisah cinta yang pelik. Coba telusuri semuanya, dan sentuh akar penyebabnya. Semuanya sama, tak kan keluar dari siklus Godaan, Khilaf dan Sesal.
Tentang mengapa sang nabi mesti khilaf di surga pun demikian. Khilaf itu kekurangan yang menyempurnakan manusia. Karena sepertinya terlalu Dewa bila ada manusia yang tak khilaf. Bahkan sang Manusia pilihan, Rasulullah saw kekasih Allah saja sempat khilaf. Sifat satu ini mengantarkan manusia pada konflik.
Alkisah, seorang anak jalanan yang kelaparan tengah gontai di sebuah jalan. Matanya nyaris berkunang dan perut dingin gemetar saking lapar. Penghuni langit tengah seru mengintip. Mereka melihat ada dua nasib yang akan ditemui anak ini. Dalam skenario takdir, akan melintas dekat anak ini seorang wanita kaya dengan dompet yang mudah dicuri. Sang anak pun melihat itu. Lantas di pikirannya terlintas: mencuri, atau tetap lapar sampai entah kapan.
Di titik inilah dua nasib itu menunggu pilihan si anak. Penghuni langit pun kian tegang tentang jalan manakah yang si anak akan tempuh selanjutnya. Ternyata... si anak khilaf. Ia kalut dan mencuri. Mudah saja, dan tak ada yang tahu. Namun..di seberang nasib yang satu ini menunggu nasib lain: sebuah pembalasan. Padahal seandainya si anak mau meminta pada si wanita, ia cukup dermawan untuk memberi. Ini nasib yang lain.
Itulah khilaf. Posisinya unik. Tak selalu berujung konflik. Seperti para nabi, khilaf mereka malah mendatangkan kedewasaan dan kehati-hatian yang ekstra.
Terakhir, kenapa Adam Hawa mesti terpisah di dunia?
Bayangkan dengan penghayatan. Di surga segalanya serba ada, mudah dan indah. Segala tuntunan nafsu manusia disanalah penyedianya. Makanan, minuman bahkan sampai (maaf) pemenuh syahwat terbaik ada disana. Itu saja rasanya sudah sangat WAH dan PUAS. Tapi, ada satu nikmat yang LEBIH BESAR LAGI ternyata.
Itulah kehadiran Sang Pencipta. Dzat yang tak kita lihat tapi kita imani. Yang tak bisa disentuh tapi lekat dengan kita. Memandang wajahNya adalah kenikmatan tak terkira, tak terbayang.
Itulah yang dirasakan Adam sebagai manusia satu-satunya kala itu. Kemudian atas dorongan alamiah, ia sebagai lelaki pun merindu pasangan. Allah beri. Dan karena khilaf, semua kenikmatan yang sangat indah itu tak lagi bisa tersentuh!
Di bumi, semua serba kontradiktif. Dengan nafsu yang sama: Lapar, Haus dan Birahi di bumi jadi serba sulit. Makanan harus dicari dan diolah. Air pun demikian. dan wanita satu-satunya saat itu jauh berjarak darinya.
Galau, rindu, kesal, marah, benci semua berbaur pada satu emosi: SESAL. Adam pun bertekad untuk memohon ampun. Dengan penuh tekad, ia jelajahi bumi sendirian. Berkelana hingga pada satu waktu dipertemukan dengan sang ratu hati. Disana rasa syukur memuncak dan melesatkan ucap pertaubatan.
Demi itu. Demi taubat yang indah itu keduanya mesti diturunkan dan dipisahkan di bumi. Namun karena keimanan dan kesalehan semua berujung indah.
Itulah sepintas tentang siklus Godaan, Khilaf dan Sesal. Anggap saja ketiganya adalah bumi. Berkolaborasi dengan harta, kedudukan dan cinta selalu berputar menampakkan bermacam rupa.
Dan anggaplah kawan sekalian adalah matahari. Tak beranjak betapapun ribuan benda langit mengitari. Tetap terang dan mencahayai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar